Di antara semua posisi pesepakbola, boleh jadi pemain bertahan (bek dan gelandang bertahan), adalah posisi bermain yang jauh dari kata nyaman. Pemain bertahan tak banyak dipuji, seperti para pemain di lini serang. Posisi pemain bertahan pun, bukan posisi yang populer, seperti halnya kiper. Sepanjang sejarahnya, hanya ada dua bek, yang mampu meraih Ballon d'Or, yakni Franz Beckenbauer (Jerman, 1972, 1976), Cannavaro (Italia, 2006). Jelas, posisi pemain bertahan, bukan tempat ideal, bagi mereka yang sangat ingin meraih banyak penghargaan personal.
Meski sekilas tugasnya simpel, pemain bertahan kerap ditempatkan, dalam situasi serba salah. Jika mereka bermain bagus, tim lawan (dan suporternya) akan kesal. Begitu juga, dengan para pecinta sepak bola indah. Ibarat drama, mereka adalah tokoh antagonis. Tapi, kalaupun timnya menang, mereka akan cenderung jadi figuran. Karena, sorotan akan lebih banyak tertuju, ke para pemain di lini serang. Kecuali, jika kinerja pertahanan tim istimewa, dan berpadu padan dengan lini serang yang efektif.
Contoh klasik, yang dapat kita temui adalah, final Piala Dunia 1974, yang mempertemukan tuan rumah Jerman (Barat), dan Belanda. Dalam laga itu, tersaji duel sengit, antara tim yang bermain disiplin (Jerman), melawan tim yang bermain atraktif (Belanda). Tim Panser dikomandani Franz Beckenbauer, sedangkan Tim Oranye dimotori Johan Cruyff.
Meski mendominasi jalannya laga, Belanda takluk 1-2. Solidnya pertahanan Jerman, yang dipadu efektifitas penyelesaian akhir, yang dimotori Gerd Muller di lini depan, sukses memaksa Belanda "mati dalam keindahan" Total Football mereka sendiri. Tapi, bagi para pecinta sepak bola indah, laga ini seperti mengenang mantan pacar yang cantik, tapi jadi istri orang; perih untuk diingat, tapi tak mudah dilupakan.
Sedihnya, para pemain bertahan ini, akan menjadi seorang "terdakwa", jika ia bermain "tricky", atau membuat blunder (misal dikartu merah, atau membuat gol bunuh diri). Untuk kasus pemain "tricky", kita bisa menemui contoh kontroversialnya, pada sosok Marco "Matrix" Materazzi (Italia). Aksi provokasinya kepada Zinedine "Zizou" Zidane (Prancis), di final Piala Dunia 2006, sukses membuat Zizou marah. Alhasil, Matrix mendapat hadiah sundulan gratis dari Zizou. Zizou sendiri, akhirnya dikartu merah wasit. Dalam laga ini, Prancis kalah 3-5 (1-1 aet) dari Italia, di babak adu penalti.
Jelas, insiden "headbutt" Zidane ini menggambarkan dengan jelas, bagaimana tugas seorang pemain bertahan. Selain harus punya kelebihan fisik dan teknik, mereka juga dituntut untuk kuat secara mental. Supaya, lawan terintimidasi, dan tak mampu mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Meskipun, mereka harus menanggung resiko tak disukai, bahkan dibunuh, seperti dialami Andres Escobar (Kolombia), yang ditembak mati akibat membuat gol bunuh diri di Piala Dunia 1994.
Menariknya, prinsip kerja seorang pemain bertahan, mirip dengan filosofi "Jalan Pedang" berikut, yang dicetuskan Miyamoto Musashi (1584-1645), samurai legendaris asal Jepang:
Kalau kau mati, aku pun mati.
Matiku akan punya arti bagiku
seperti matimu berarti buatmu.
Kalau kau bisa mengakhiri hidupmu dengan tenang, aku pun bisa.
Takkan ku terinjak layaknya serangga
atau tenggelam dalam nestapa.
Akulah penentu jalanku sendiri.
Tak seorang pun bisa melakukannya
biarpun orang itu adalah engkau! Â
(Dikutip dari novel "Musashi" karya Eiji Yoshikawa, Bagian Keempat: Angin)