Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Jalan Sunyi Seorang Kiper

8 Desember 2017   17:54 Diperbarui: 8 Desember 2017   17:57 2708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari semua posisi bermain di sepak bola, kiper adalah posisi yang tergolong paling sepi peminat. Padahal, beban fisik seorang kiper tak seberat posisi lain; cukup nongkrong di area sekitar gawang, dan hanya "keluar dari sarang" saat situasi darurat. Sebaliknya, posisi penyerang atau gelandang serang, tetap kebanjiran peminat. Padahal, beban fisik yang harus ditanggung cukup berat; mereka tak hanya harus aktif menjelajahi tiap jengkal lapangan, tapi juga harus punya kemampuan taktik dan teknik yang memadai.

Jika dilihat lagi, fenomena ini sebenarnya wajar. Karena, ibarat pentas drama, pemain berposisi menyerang seperti pemeran utama. Kiper hanya jadi figuran, atau (pada titik tertentu) pemeran antagonis. Jelas, tak ada orang yang tak ingin jadi pusat perhatian. Apalagi, jika orang itu bisa menjadi populer dalam sekejap, berkat peran 'protagonis'nya. Sejarah membuktikan, hanya ada satu kiper (sejauh ini), yang mampu meraih Ballon d'Or, yakni Lev Yashin (Rusia, 1963). Jadi, kiper bukan posisi ideal, bagi mereka yang cinta sorotan.

Memang, mereka yang memutuskan menjadi seorang pemain di lini serang, akan menapaki jalan penuh ingar bingar, mulai dari persaingan, sampai popularitas, jika mereka meraih sukses. Sementara itu, para kiper akan menapaki jalan penuh kesunyian, jauh dari sorotan. Malah, seorang kiper kadang terjebak dalam posisi serba salah, akibat jadi kambing hitam kegagalan tim.

Situasi tak mengenakkan ini, sempat dialami Moacir Barbosa (1921-2000), kiper timnas Brasil di Piala Dunia 1950. Sebelum laga final melawan Uruguay, nama Barbosa sama sekali tak disorot, seiring tajamnya lini depan Tim Samba. Tapi, setelah laga final, Barbosa berubah status menjadi seorang 'penjahat' di Brasil sampai akhir hayatnya. Karena, di laga final ini, Barbosa kebobolan 2 gol. Akibatnya Brasil kalah 1-2 atas Uruguay. Kekalahan ini terasa menyesakkan bagi seluruh masyarakat Brasil. Karena, ini terjadi di Estadio Maracana, stadion kebanggaan mereka. Sejarah lalu mencatat laga ini, sebagai "Tragedi Maracana".

Dikucilkannya Barbosa, bahkan sampai akhir hayatnya, menjadi sebuah ironi. Karena, sepak bola adalah olahraga tim, bukan perorangan. Akibat "Tragedi Maracana", CBF (PSSI-nya Brasil), sempat melarang kiper berkulit hitam, seperti Barbosa, membela Tim Samba. Larangan tak tertulis ini baru berakhir tahun 1995, saat Nelson Dida mencatat debut di timnas Brasil.

Nasib lebih baik, dialami Sergio Goycochea, kiper timnas Argentina di Piala Dunia 1990. Berangkat ke Italia sebagai kiper cadangan, ia mendapat durian runtuh, akibat cederanya Nery Pumpido (kiper utama) di laga pembuka turnamen (kalah 0-1 dari Kamerun).

Setelahnya, ia menjadi kiper andalan Tim Tango sepanjang turnamen. Bahkan, berkat kontribusinya, Tim Tango sukses melaju ke final, usai menang adu penalti di babak perempatfinal (Vs Yugoslavia), dan semifinal (Vs Italia). Tapi, kegagalannya menepis tendangan penalti Andreas Brehme (saat itu Jerman Barat), membuat Argentina kalah 0-1 di final. Alhasil, kontribusi Goycochea kala itu cenderung terlupakan. Piala Dunia 1990 praktis lebih banyak diingat publik, sebagai momen patah hati seorang Diego Maradona.

Satu-satunya hal, yang akan membuat seorang kiper terus diingat adalah, jika ia punya kharisma, atau ciri khas yang mudah diingat. Sebagai contoh, Jorge Campos (Meksiko), dan Rene Higuita (Kolombia), banyak diingat orang sebagai kiper  eksentrik. Ada juga Jose Luis Chilavert (Paraguay), dan Rogerio Ceni (Brasil), dua kiper yang kerap mencetak gol. Untuk kiper kharismatis bergaya klasik, Gianluigi Buffon (Italia) adalah contohnya.

Sekilas, menjadi seorang kiper, adalah pekerjaan yang cukup ringan secara fisik, dibanding posisi lainnya di sepak bola. Tapi, kiper adalah posisi dengan beban mental paling berat. Karena, berapapun penyelamatan brilian yang dibuat seorang kiper di satu kesempatan, akan sia-sia, jika ia membuat satu-dua blunder fatal, di kesempatan berikutnya. Hal ini sekaligus membuktikan, tak ada posisi bermain paling 'enak' di sepak bola. Karena, posisi yang sekilas tampak paling remeh pun, tetap mempunyai kesulitan tersendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun