Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Timnas Indonesia, Setelah Piala AWSC

6 Desember 2017   21:16 Diperbarui: 6 Desember 2017   22:51 2881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Bolasport.com

Gagal juara. Itulah hasil yang didapat timnas di Piala Aceh World Solidarity Cup (AWSC) 2017. Kegagalan Tim Garuda didapat, setelah kalah 0-1 dari Kirgistan. Gol Saliev Askarbek di menit ke 20, tak mampu dibalas Febri Haryadi dkk hingga laga usai. Alhasil, Kirgistan keluar sebagai juara turnamen Piala AWSC edisi pertama ini, dengan mencatat 3 kemenangan dari 3 laga (Vs Brunei, Mongolia, dan Indonesia).

Dilihat dari situasinya, sebetulnya hasil ini tak terlalu mengejutkan. Karena, semua berjalan tak sesuai rencana, baik dari sisi nonteknis, maupun teknis sejak awal berjalannya turnamen AWSC 2017 ini.

Dari sisi nonteknis, panitia penyelenggara turnamen terkesan mengabaikan pentingnya antisipasi pada faktor cuaca sejak dini. Padahal, turnamen ini digelar pada bulan Desember, salah satu periode fase puncak musim hujan. Penanganannya jelas berbeda dengan di bulan Juni/Juli. Akibatnya, saat kondisi lapangan rusak karena diguyur hujan, panitia penyelenggara turnamen tak bisa berbuat banyak, termasuk saat tim peserta protes terkait kondisi lapangan. Celakanya, venue turnamen tak bisa dipindah ke stadion lain. Karena, Stadion Harapan Bangsa (kapasitas 45.000 penonton), yang terletak di Kota Banda Aceh, adalah satu-satunya stadion berstandar FIFA di Aceh.

Dari sisi waktu kick-off laga, terutama laga timnas di dua laga awal turnamen, pertandingan dimainkan pukul 21.30, waktu kick-off yang tak wajar. Jelas, ini hanya menguntungkan pihak televisi pemegang hak siar laga timnas, yang acara sinetron utamanya di jam "prime time" tetap bisa tayang seperti biasa.

Seharusnya, kick-off bisa dilangsungkan pukul 15.30 atau 16.00 (selesai sebelum Maghrib), atau antara pukul 19.30 dan 20.00 (kick-off setelah Maghrib). Pertimbangannya, agar kewajiban beribadah pemain/suporter yang beragama Islam tak terganggu. Selain itu, waktu bermain ini cukup ideal. Karena, para pemain punya waktu istirahat yang cukup. Para suporter pun tak perlu tidur terlalu malam, dan terlambat masuk sekolah/kerja, akibat bangun kesiangan.

Masalah nonteknis ini, lalu memunculkan masalah teknis, sebagai dampak lanjutannya. Pertama, dengan kondisi lapangan penuh genangan lumpur, skema permainan yang coba diterapkan setiap tim peserta tak berjalan dengan baik. Malah, pertandingan yang berjalan lebih mirip aktivitas membajak sawah, atau beternak ikan lele, daripada pertandingan sepak bola. Jelas, sehebat apapun pelatihnya, mereka tetap akan kesulitan menerapkan taktiknya, di lapangan yang kondisinya tak prima seperti ini.

Masalah lain yang muncul adalah cedera pemain. Benar, akibat kondisi lapangan yang buruk, Septian David (cedera engkel), dan Gavin Kwan (cedera tulang fibula) mengalami cedera. Ditambah lagi, waktu kick-off laga yang terlalu malam, dan jadwal antarpertandingan yang terlalu mepet, membuat para pemain tak berada dalam kondisi fisik optimal. Akibatnya, mereka justru akan lebih rentan terkena cedera.

Jadi, kalaupun Tim Garuda menjuarai turnamen AWSC, situasinya mirip pepatah "kalah jadi abu, menang jadi arang". Mengingat, protes terkait masalah lapangan, dari tim-tim peserta turnamen ini. Apalagi, Tim Garuda juga kehilangan pemain kunci akibat cedera, skema permainan tim pun tak jalan. Jika menang, mereka akan tetap dikritik sebagai tuan rumah yang kurang baik. Jika kalah, kritik tetap didapat. Karena, mereka gagal meraih trofi juara.

Praktis, satu-satunya pelajaran yang didapat timnas di AWSC adalah, "cara bermain bola di lapangan berlumpur yang baik dan benar". Ke depannya, PSSI perlu memastikan, kondisi lapangan tempat timnas akan bermain benar-benar layak. Supaya, timnas bisa tampil maksimal, dan meraih prestasi, tanpa ada 'korban' pemain yang cedera, akibat kondisi lapangan bermasalah. Selain itu, PSSI harus bisa memastikan, waktu bermain timnas tak boleh kalah karena ada tayangan sinetron ber-rating tinggi di jam "prime time". Karena timnas adalah (salah satu) alat pemersatu bangsa dari semua lapisan usia, bukan hanya pemersatu emak-emak seperti sinetron.

Bisa, PSSI?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun