Saat didatangkan Liverpool dari AS Roma, musim panas lalu, awalnya Mohammed Salah diplot sebagai tandem Sadio Mane di sisi sayap Si Merah. Kebetulan, Salah bertipikal permainan seperti Mane; rajin bergerak, eksplosif, dan performanya cenderung konsisten. Tipikal pemain seperti ini, sangat didambakan Klopp, dalam sistem "gegenpressing"-nya, yang selalu menuntut pemain, untuk rajin, dan bergerak cepat.
Secara teknis, transfer Salah adalah bentuk keseriusan Liverpool menyambut musim 2017/2018. Jelas, dengan tampil di Liga Champions, Liverpool tak bisa hanya berharap pada ketajaman Sadio Mane seorang, karena ketergantungan pada Mane akan berdampak buruk bagi performa tim. Masalah itu setidaknya tampak jelas, saat Mane dua kali absen cukup lama.Â
Pertama, saat ia harus absen karena harus tampil di Piala Afrika 2017 bersama timnas Senegal. Kedua, saat ia absen di pekan-pekan akhir kompetisi, akibat mengalami cedera lutut. Dalam dua periode ini, performa Liverpool tak sebagus saat diperkuat Mane.
Awalnya, kedatangan Salah diliputi keraguan. Maklum, sebelumnya pemain timnas Mesir ini sempat gagal bersinar di Inggris, saat memperkuat Chelsea. Selain itu, harga transfer 40 juta pounds (sudah termasuk bonus performa) yang melekat padanya, menjadi sebuah kekhawatiran tersendiri. Karena, pada masa lalu, Liverpool pernah gagal, saat merekrut Andy Carroll dari Newcastle tahun 2011, dengan biaya 35 juta pounds. Dikhawatirkan, Salah akan bernasib seperti Carroll, akibat harga mahal yang melekat padanya.
Tapi, semua keraguan itu terbantahkan. Salah, yang dipercaya penuh oleh pelatih Jurgen Klopp di sektor sayap, mampu tampil tajam. Laman whoscored.com (1/12) mencatat, dari total 19 penampilan di kompetisi resmi bersama Si Merah sejauh ini, Salah mampu mencetak 16 gol (12 gol di EPL, dan 4 gol di Liga Champions) plus 3 assist.Â
Performa ini tergolong istimewa, untuk ukuran seorang berposisi gelandang serang. Ia terbukti cepat menyatu, dengan trio Roberto Firmino-Coutinho-Mane. Kehadiran Salah, membuat Liverpool kini punya kuartet "RSCM" (Roberto Firmino-Salah-Coutinho-Mane) di lini serang.
Performa bagus kuartet "RSCM" di lini serang Liverpool, mampu menjadi senjata ampuh. Sayang, ketajaman lini serang Si Merah diikuti dengan keroposnya lini pertahanan. Alhasil, Liverpool tak ubahnya pedang tanpa gagang; mampu melukai lawan, sekaligus melukai penggunanya. Masalah inilah, yang membuat laju Liverpool di EPL kerap tersendat.
Menariknya, ketajaman Salah di Liverpool seolah menegaskan, Salah adalah tipikal pemain, yang mampu mengeluarkan kemampuan terbaiknya, hanya jika ia diberi kepercayaan penuh, dan ruang cukup luas untuk dapat berkembang. Sebelumnya, hal ini sudah dibuktikannya, saat memperkuat FC Basel, Fiorentina, AS Roma, dan timnas Mesir. Situasi ini terbalik, dengan saat ia membela Chelsea. Kala itu, ia hanya jadi opsi kesekian di lini serang. Akibatnya, ia gagal bersinar, dan dipinjamkan ke Fiorentina, sebelum akhirnya dipinjam, dan dilepas permanen ke AS Roma.
Sebagai fans Si Merah, ketajaman Salah membuat saya terjebak nostalgia, pada sosok Fernando Torres, dan Luis Suarez, dua ujung tombak Liverpool, yang sama-sama tajam di masanya masing-masing. Ketajaman keduanya, sama-sama mampu menghadirkan optimisme lebih, tiap kali mereka tampil memperkuat Liverpool. Hanya saja, Torres dan Suarez sama-sama pemain bertipe nomor 9, tak seperti Salah.
Tapi, seperti halnya Torres dan Suarez dulu, performa oke Salah di Liverpool bak dua sisi mata uang. Di satu sisi, kedatangan Salah, yang langsung moncer ini, mampu mengembalikan optimisme, dan menjadi solusi tak terduga, atas sosok "goal getter", yang selama ini hilang dari lini depan Si Merah, tepatnya sejak Suarez hengkang ke Barcelona, tahun 2014 silam.Â
Di sisi lain, ketajaman Salah ini, juga menimbulkan kekhawatiran. Terutama, jika ia mampu (minimal) menjaga performa bagusnya sepanjang musim ini. Karena, ini akan menarik minat tim elit Eropa lain, untuk membelinya. Otomatis, ini akan merugikan Liverpool, yang sedang berupaya membangun ulang tim.