Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Dewasalah, Neymar!

25 September 2017   14:36 Diperbarui: 25 September 2017   14:43 2372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bicara soal Neymar, tentu tak bisa lepas, dari bakat besar, plus kebintangannya. Terbukti, eks pemain Santos ini menyandang ban kapten, dan nomor punggung 10 di timnas Brasil. Seperti diketahui, nomor punggung 10, dan posisi kapten di Tim Samba, hanya diperuntukkan kepada pemain yang "spesial". Jadi, dari sini saja, sudah jelas terlihat, betapa spesialnya seorang Neymar.

Di level klub, bakat besar, dan kebintangan Neymar, membuat PSG rela menggelontorkan  dana 222 juta euro (Rp 3,4 triliun), untuk menebusnya dari Barcelona. Di PSG, Neymar diberi status bintang utama tim, yang disimbolkan lewat nomor punggung 10 yang dikenakannya, dan gaji 36,8 juta euro per tahun yang didapatnya. Selain itu, ia juga punya akses langsung ke petinggi klub. Bisa dibilang, Neymar sudah diperlakukan sangat istimewa di PSG.

Meski diperlakukan demikian, The Golden Boy masih saja merajuk. Terbukti, pada saat PSG membekuk Lyon 2-0, Neymar kedapatan berebut tendangan penalti dengan Edinson Cavani, algojo penalti utama tim, yang tetap mengeksekusi bola, walau Neymar mencoba mengambil alih. Sayang, eksekusi penalti El Matador gagal. Untungnya, PSG tetap menang.

Tapi, insiden ini berbuntut panjang. Bahkan, Presiden klub, Nasser Al Khelaifi, sampai harus turun tangan membujuk Cavani, untuk merelakan jatah algojo penalti ke Neymar. Tak main-main, sang bos bersedia memberi bonus kontan sebesar 1 juta euro (sekitar Rp 18 miliar), jika Cavani mau mengalah dengan Neymar. Sekadar diketahui, besaran bonus ini setara dengan bonus untuk peraih gelar top skorer Ligue 1, yang dijanjikan PSG.

Secara kasat mata, tawaran ini adalah jalan pintas terbaik. Cavani bisa meraih bonus tanpa berkeringat, Neymar pun takkan merajuk lagi. Tapi, sebagai seorang penyerang tengah profesional, Cavani menolaknya. Karena, dilarang menendang penalti bagi seorang penyerang seperti Cavani, adalah sebuah hukuman. Situasi rumit ini, mau tak mau akan memantik persaingan lanjutan diantara Neymar dan Cavani.

Tapi, disinilah Neymar seharusnya bisa belajar, untuk melakukan apa yang dulu biasa dilakukan Messi kepadanya, saat masih di Barcelona. Ketika itu, Messi kerap memberinya kesempatan, untuk menendang penalti, atau tendangan bebas. Padahal, Messi adalah algojo bola mati utama tim. Jika ia mau, semua bisa dieksekusinya sendiri tanpa harus berbagi. Tapi, Messi memilih untuk berbagi. Karena, perannya adalah pemain nomor punggung 10, alias motor serangan tim, yang tugasnya bukan sebatas mencetak gol. Di sini, Si Kutu benar-benar memikirkan "hal baik apa yang bisa ia berikan untuk kebaikan tim". Tak heran, jika Messi mampu mencetak banyak gol dan assist di Barca.

Hal serupa, juga pernah dilakukan Johan Cruyff (Belanda), di final Piala Dunia 1974. Kala itu, Belanda mendapat hadiah penalti, usai Cruyff dilanggar Berti Vogts (Jerman Barat). Padahal, sebagai bintang utama tim, jika ia mau, ia bisa menembak sendiri penalti itu. Tapi, Cruyff justru memilih menugaskan Johan Neeskens sebagai eksekutor penalti. Karena, tim lawan sudah mempelajari gaya main Cruyff. Apalagi, gawang lawan dijaga kiper sekelas Sepp Maier. Jelas, disini Cruyff berpikir untuk kebaikan tim. Hasilnya, Neeskens pun sukses mencetak gol. Sayang, meski unggul duluan, Belanda akhirnya kalah 2-1 dari Jerman Barat.

Dari kedua bintang besar ini, Neymar seharusnya bisa belajar, untuk bersikap selayaknya pemain bintang kelas dunia. Neymar seharusnya perlu mulai menyadari; perannya di PSG, bukan hanya mencetak gol atau assist, tapi ia berperan sebagai "difference maker". Dengan peran ini, Neymar tak seharusnya terlalu memikirkan hal remeh seperti jatah penalti. Ia harus mulai berpikir untuk kebaikan tim secara keseluruhan, bukan malah menonjolkan egonya, dengan membuat keributan yang tak perlu. Lagipula, sehebat apapun kemampuannya, ia tak bisa hanya bergerak sendirian. Karena, sepak bola adalah olah raga tim, bukan perorangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun