Berpostur gempal, bengal, tapi berteknik tinggi. Itulah ciri khas Carlos Tevez (33), yang kadang mengingatkan kita, pada sosok legendaris Diego Maradona. Kebetulan, Tevez juga mulai dikenal luas, saat berkarir di Boca Juniors, seperti halnya El Diego. Kesamaan-kesamaan inilah, yang membuat Tevez sempat dijuluki "The Next Maradona".
Tapi, keduanya punya prestasi yang bertolak belakang. Meski sukses menjuarai Piala Dunia 1986 bersama timnas Argentina, karir Maradona di level antarklub Eropa tak terlalu mentereng. Bersama Napoli, El Pibe De Oro (The Golden Boy) "hanya" mampu meraih 2 scudetto, plus 1 gelar Piala UEFA (kini Liga Europa). Tapi, mengingat pengaruh besarnya di Napoli, ia tetap dianggap sebagai salah satu yang terbaik.
Sedangkan, Tevez bergelimang gelar di level antarklub Eropa, saat memperkuat Duo Manchester (United dan City), dan Juventus. 3 gelar EPL, 3 scudetto, plus 1 gelar Liga Champions. Sayang, karirnya di timnas Argentina tak terlalu sukses. Bahkan, karir internasionalnya selesai terlalu awal. Meski sukses meraih medali emas Olimpiade 2004 di Athena, El Apache tak pernah lagi memperkuat tim Tango sejak tahun 2011.Â
Tepatnya, sejak ia gagal mengeksekusi penalti, di perempatfinal Copa America 2011, kala melawan Uruguay. Akibat kegagalan ini, Argentina tersingkir, dan Uruguay menjadi juara di akhir turnamen, usai mengalahkan Paraguay 3-0 di final.
Selepas berkarir di Eropa, pada tahun 2015, Tevez pulang ke Boca Juniors. Tapi, karir keduanya, di Stadion La Bombonera tak bertahan lama. Karena, pada bulan Januari 2017, ia pindah ke Shanghai Shenhua, klub Liga Super Tiongkok (CSL).
Rekam jejak di Eropa, plus pengalaman bermain di timnas Argentina, membuat kedatangan Tevez di Shanghai disambut bak superstar. Jelas, Shanghai Shenhua berharap banyak padanya. Harapan itu tercermin nyata, dari besaran gaji Tevez di Shanghai, yakni 615 ribu pounds (sekitar Rp 11 miliar) sepekan. Gaji besar ini, menjadikan Carlitos sebagai salah satu pesepakbola bergaji termahal di dunia.
Secara logika, gaji besar, dan perlakuan istimewa, akan membuat seseorang nyaman bekerja, dan mampu mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Tapi, yang terjadi pada Tevez di Shanghai Shenhua justru sebaliknya. Alih-alih bersinar, ia justru akrab dengan masalah. Di lapangan, Tevez hanya mampu mencetak 2 gol dari 12 laga.Â
Selebihnya, ia lebih akrab dengan masalah kebugaran, baik cedera, ketidakcocokan dengan pelatih, ataupun kelebihan berat badan. Akibatnya, Shanghai Shenhua tak mampu bersaing di papan atas CSL. Tevez pun berubah status, dari tumpuan harapan, menjadi sumber masalah. Kini, ia benar-benar sedang di titik nadir kariernya. Satu-satunya hal, yang membuatnya masih bertahan, adalah gaji besar yang didapatnya.
Jika melihat CV-nya, Tevez memang masih cukup layak digaji mahal. Tapi, motivasinya untuk bermain sebaik mungkin sudah berkurang, selain karena faktor usia yang tak lagi muda. Demotivasi inilah, yang membuat performa Tevez anjlok. Boleh dibilang, saat merekrut Tevez, Shanghai Shenhua seperti sedang membeli piano klasik dengan harga mahal, hanya karena tampilan luarnya tampak menarik. Padahal, bagian dalam piano itu, sudah lapuk akibat dimakan rayap.
Apa yang dialami Shanghai Shenhua terkait Tevez, sekali lagi membuktikan, rekam jejak karir seorang pemain di masa lalu, bukan acuan utama, dalam rekrutmen pemain, apalagi sampai langsung memberinya gaji besar. Karena, klub tetap harus melihat bagaimana kondisi terkini si pemain, sebelum benar-benar merekrutnya. Jika ini tak diperhatikan, klub bisa rugi, akibat menggaji mahal seorang pemain, yang hanya membawa masalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H