Malaysia, secara geografis, adalah negara tetangga kita. Secara kultur, mereka adalah saudara serumpun. Karena, baik Indonesia maupun Malaysia, bahasa nasionalnya sama-sama berakar dari bahasa Melayu.
Menariknya, meski merupakan saudara serumpun, Malaysia kadang bertindak 'usil' kepada kita. Misalnya, pada saat SEA Games 2017 di Malaysia, mereka salah memasang bendera Indonesia, dalam buklet panduan SEA Games 2017. Sontak, masyarakat Indonesia pun memprotesnya.
Meski pemerintah Malaysia sudah menyatakan permohonan maaf secara resmi, kekesalan warga Indonesia (dan negara kontestan SEA Games 2017 lainnya) kembali muncul. Penyebabnya, Malaysia dituding 'curang', dan kerap diuntungkan wasit. Selain itu, Malaysia dianggap menjadi tuan rumah yang kurang baik. Di cabor sepak bola saja, mereka sempat membuat polemik, saat proses undian grup berlangsung. Tujuannya, agar medali emas bisa diraih dengan mudah. Memang, pada akhirnya Tim Harimau Muda sukses mencapai final. Sayang, mereka tumbang 0-1 dari Thailand. Ironisnya, Malaysia kalah di laga ini, akibat gol bunuh diri kiper mereka sendiri. Karma? Entahlah
Memang, Malaysia akhirnya keluar sebagai juara umum SEA Games 2017. Tapi, raihan ini, juga diiringi dengan koor kritik bernada sumbang, dari negara kontestan SEA Games lainnya, termasuk Indonesia.
Menariknya, 'keusilan' Malaysia di SEA Games ini, segera 'dibalas' Indonesia, di ajang level benua, atau setingkat diatas SEA Games, yakni kualifikasi Piala Asia U-19, yang akan dihelat mulai 30 September mendatang, di Korea Selatan. Secara kebetulan, Malaysia segrup dengan timnas Indonesia U-19, Timor Leste, Brunei Darussalam, dan tuan rumah Korea Selatan. Keikutsertaan Garuda Nusantara, di kualifikasi ini, sebenarnya hanya formalitas. Karena, Egy Maulana Vikri dkk, sudah pasti tampil, di Piala Asia U-19 tahun depan, yang akan dihelat di Indonesia. Langkah 'formalitas' semacam ini, sebelumnya juga sempat dilakukan timnas Tiongkok, di Pra Piala Asia U-22 tahun 2017. Jelas, tindakan ini legal.
Tanpa bermaksud meremehkan Brunei, dan Timor Leste, grup ini akan sangat menyulitkan bagi Malaysia. Karena, timnas Indonesia U-19 sudah otomatis lolos ke putaran final. Sedangkan, Korea Selatan, akan mempunyai energi lebih. Karena, mereka akan berlaga di kandang sendiri. Jangan lupa, Tim Ksatria Taeguk, adalah salah satu tim terkuat di Benua Asia. Praktis, hanya satu tiket lolos, yang akan diperebutkan di grup ini.
Situasi kurang menguntungkan inilah, yang lalu dikeluhkan Bojan Hodak, pelatih timnas Malaysia U-19. Seperti dikutip laman goal.com (Senin, 14/9), Pelatih asal Kroasia ini, mempertanyakan partisipasi Garuda Nusantara, di babak kualifikasi Piala Asia U-19. Padahal, tim ini sudah lolos otomatis. Lalu, kenapa mereka masih ikut kualifikasi?
Jawabannya jelas; Garuda Nusantara perlu pengalaman bertanding di level internasional sebanyak mungkin. Supaya, mereka dapat berbicara banyak di Piala Asia U-19. Apalagi, turnamen ini akan dihelat di Tanah Air. Otomatis, timnas U-19 perlu persiapan khusus, untuk dapat meraih prestasi tinggi. Secara teknis, mengikuti kualifikasi di Korea Selatan, dapat memberi pengalaman berharga bagi para pemain. Dengan menghadapi lawan pada laga kompetitif di luar negeri, kemampuan mereka akan dapat lebih berkembang, daripada beruji coba dengan tim lokal, yang kualitasnya tak sebanding.
Di sini, tampaknya pelatih Indra Sjafrie, dan manajemen timnas U-19, sudah belajar, dari pengalaman Tur Nusantara tahun 2013 silam. Kala itu, Evan Dimas dkk tak terkalahkan di dalam negeri. Tapi, di Piala Asia U-19, mereka malah jadi bulan-bulanan lawan, dan tersingkir di fase grup.
Mengingat legalnya langkah timnas U-19, pernyataan Hodak, yang mempertanyakannya, justru terlihat aneh. Karena, jika timnas U-19 tak ikut pun, jumlah tiket lolos yang diperebutkan tetap 15 tiket. Ditempatkannya Malaysia segrup bersama Garuda Nusantara, dan Korea Selatan, jelas bukan sebuah rekayasa, alias hanya kebetulan terundi begitu saja. Lagipula, dalam sebuah kompetisi, sebuah tim tak bisa hanya memilih lawan yang akan dihadapi atau dihindari. Betapa memalukannya, jika sebuah tim pilih-pilih lawan saat bertanding, hanya karena ingin menang. Padahal, pepatah lama Tiongkok mengatakan; "jika seorang pendekar kuat kalah dari lawan yang lemah, ia akan mendapat malu. Tapi, jika menang, ia tak dapat nama."
Pada saat yang sama, apa yang dialami Malaysia ini kembali membuktikan, kalau "karma" itu ada. Sekilas, ini terlihat kejam. Tapi, karma itu ada, agar keseimbangan dalam kehidupan tetap terjaga. Dari keseimbangan inilah, keselarasan, dan kedamaian dapat terwujud.