Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Di Balik Aturan Presidential Threshold

29 Juli 2017   21:23 Diperbarui: 30 Juli 2017   07:42 1451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada Kamis (20/7) silam, dengan diwarnai aksi "walk out" fraksi Partai Gerindra, PAN, PKS dan Demokrat, DPR mengesahkan RUU Pemilu menjadi Undang-Undang, yang efektif berlaku, mulai Pemilu 2019 mendatang. Pada Undang-Undang Pemilu yang baru tersebut, terdapat beberapa poin penting, terkait parliamentary threshold, dan presidential threshold.

Pertama, ambang batas "parliamentary threshold", yang sebelumnya sebesar 3,5 persen, naik menjadi 4 persen. Sehingga, untuk Pemilu 2019 mendatang, sebuah partai akan lolos ke Senayan, jika memperoleh minimal 4 persen total perolehan suara nasional dalam sistem pemilu terbuka.

Kedua, ditetapkannya ambang batas minimal "presidential threshold" sebesar 20% perolehan kursi di parlemen, atau 25% total suara sah nasional. Artinya, sebuah partai, atau koalisi beberapa partai, hanya boleh mengajukan kandidat pasangan calon Presiden, dan wakil Presiden, jika memenuhi ambang batas minimal, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pemilu.

Pada poin pertama, jelas tak ada masalah. Karena, kenaikan persentase ini jelas relevan, dengan tren hasil pemilu sebelumnya. Sebagai contoh, pada pemilu 2014 silam, partai dengan perolehan suara nasional terendah, yang lolos ke Senayan, adalah Partai Hanura, yang mendapat 5,26 persen suara nasional. Faktor pendukung lain, adalah pertambahan jumlah penduduk di Indonesia, dan potensi golput saat pemilu. Dengan masih tingginya angka pertumbuhan penduduk nasional, maka perlu ada penyesuaian "batas kelolosan" partai di parlemen. Tentunya, dengan mempertimbangkan juga potensi angka persentase golput yang dapat terjadi, supaya lebih relevan dengan realita yang ada.

Sayangnya, poin kedua dianggap bermasalah oleh sebagian pihak, terutama oleh pimpinan partai yang fraksinya melakukan "walk out", atau partai-partai diluar parlemen, yang ingin mengajukan calon Presiden mereka. Padahal, sebelum diperundangkan pun, poin kedua ini adalah konsensus tak tertulis, dari pemilu ke pemilu di era terkini (pasca 1998). Jadi, bisa dibilang, ini adalah konsensus yang kini dituangkan dalam satu aturan tertulis berupa Undang-Undang.

Perdebatan lain yang muncul adalah, kriteria suara yang digunakan, pada koalisi untuk pencalonan presiden, berpatokan pada perolehan suara di Pemilu 2014. Kriteria ini dianggap menyalahi dinamika politik yang sejatinya penuh kejutan. Memang, peluang munculnya kejutan perolehan suara dari partai baru, atau partai kecil masih cukup terbuka. Tapi, di sini pemerintah tentu tak asal jadi, dalam membuat undang-undang pemilu ini. Ada beberapa pertimbangan kunci, yang melatarbelakanginya.

Pertama, peta persaingan partai politik nasional saat ini sudah mulai jelas bentuknya, dengan daerah basis dukungan masing-masing. Kalaupun ada perubahan, perubahan itu tak signifikan. Karena, jumlah partai pesertanya relatif sama, dengan corak yang juga jelas; nasionalis, dan keagamaan.

Kedua, Pemilu 2019 (pileg dan pilpres) mendatang, akan dilaksanakan secara serentak. Di sini, jelas tidak mungkin, jika perolehan suara partai-partai di luar parlemen saat ini (termasuk partai baru) saat Pemilu 2019 dimasukkan dalam kalkulasi koalisi partai pengusung capres-cawapres. Sehingga, penggunaan perolehan suara di Pemilu 2014, sebagai acuan untuk membangun koalisi masih relevan.

Ketiga, aturan baru ini, adalah alat kontrol pemerintah, untuk menjamin tetap adanya sosok pemimpin berkualitas, dipercaya publik, dan cakap dalam berpolitik. Di sini, hak untuk dipilih dan terpilih tetap terjamin. Tapi, siapapun yang ingin mencalonkan diri sebagai presiden, tetap harus memenuhi ketentuan yang diterapkan, tidak bisa asal maju mencalonkan diri. Ini merupakan modal penting, agar program pemerintah nantinya tidak terhambat, akibat adanya gesekan antara eksekutif, dan legislatif.

Di sini, pemerintah menyiapkan modal penting, agar demokrasi bangsa kita makin berkualitas. Jika melihat pemilihan presiden di negara maju, jumlah calon pemimpin yang bersaing dalam pemilu hanya sedikit. Otomatis, pemilu hanya berlangsung satu putaran. Sehingga, pengeluaran negara dapat dihemat, dan dialihkan ke sektor yang lebih produktif, seperti pendidikan, dan kesehatan. Potensi gangguan keamanan pun dapat dicegah sejak dini.

Penetapan ambang batas presidential threshold, seharusnya adalah sebuah kesempatan, untuk mengedukasi masyarakat kita, agar lebih matang dalam berdemokrasi. Ini menjadi level berikut, setelah masyarakat kita terbukti selalu tertib dalam berpemilu. Di sisi lain, penetapan ambang batas presidential threshold ini seolah menegaskan; aspek terpenting dari figur personal seorang pemimpin adalah kualitas, bukan kuantitas. Lebih baik pilihan pemimpin yang ada jumlahnya sedikit tapi sarat kualitas, daripada tersedia banyak pilihan, tapi minim kualitas.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun