Dalam Sepakbola, Chief Executive Officer (CEO), adalah istilah lazim, untuk posisi direktur teknik klub, yang posisinya berhubungan langsung, dengan Chairman (pimpinan/pemilik klub), dan pelatih klub. Pada umumnya, CEO bertugas, menjadi penghubung, antara pelatih, dan pimpinan klub. Selain itu, CEO bertugas, sebagai negosiator klub, baik dalam kontrak, atau transfer pemain (bekerja sama dengan pelatih), dan berhubungan dengan sponsor, atau menetapkan target tim (bersama pimpinan klub). Istilah CEO, banyak dipakai di liga Inggris. Sedangkan, istilah Direktur Teknik, banyak dipakai, di liga-liga Eropa daratan.
Di Liga Indonesia, istilah jabatan CEO, mulai banyak dipakai, setelah larangan penggunaan dana APBD untuk klub, diberlakukan pemerintah tahun 2009. Sebelumnya, istilah jabatan yang lazim dipakai, adalah "Ketua Umum", yang biasanya merupakan pejabat, di daerah asal klub, atau orang yang memiliki kedekatan, dengan pimpinan daerah setempat. Bisa dibilang, tujuan pergantian nama jabatan, dari "Ketua Umum" menjadi "CEO", adalah agar terkesan lebih 'profesional'. Seperti tujuan utama larangan penggunaan dana APBD pada klub.
Meski nama jabatannya terlihat keren, seperti di klub-klub Eropa, terdapat salah kaprah, pada peran CEO, di Liga Indonesia. Salah kaprah peran itu, terdapat pada aspek teknis di lapangan. Normalnya, saat tim berlaga di lapangan, CEO adalah orang, yang duduk santai, dengan penampilan necis, saat menonton laga tim di tribun VIP. Urusan taktik, teknis, dan hasil akhir laga di lapangan, sepenuhnya menjadi urusan tim pelatih, dan pemain. CEO (dan pimpinan klub), hanya bertugas menyediakan kebutuhan tim, atau mencopot pelatih, jika kinerjanya buruk. Kalaupun ada yang harus dikomentari, komentar itu hanya seperlunya.
Sayangnya, peran CEO klub di Liga Indonesia, masih terkesan tumpang-tindih. Mereka masih bebas menjadi penghuni bench. Sepanjang pertandingan, CEO sering lebih aktif bereaksi, memberi arahan, atau memprotes wasit. Padahal, mereka bukan pemain, pelatih staf pelatih, atau ofisial tim. Meski mereka beralibi, bahwa mereka adalah ofisial tim. Posisi mereka jelas lebih tinggi, daripada pelatih kepala tim sekalipun. Di sini, peran CEO menjadi tidak jelas. Dari namanya, terkesan sudah profesional, tapi prakteknya masih terkesan amatir. Sungguh ironis.
Dari sudut pandang manajemen, CEO klub di Liga Indonesia pada umumnya, justru mengabaikan fungsi penting, dalam manajemen organisasi profesional (dalam hal ini klub); pendelegasian wewenang. Pada sebuah klub, yang benar-benar profesional, pendelegasian wewenang, dari CEO (dan pimpinan/direksi klub), ke tim pelatih, dan pemain, dilakukan saat pertandingan berlangsung. Karena, CEO (dan pimpinan/direksi klub), pada dasarnya tidak bertugas di lapangan. Kalaupun ada evaluasi kinerja, normalnya itu dilakukan secara berkala, atau jika diperlukan.
Karena masalah inilah, ke depannya, PSSI perlu menetapkan regulasi, yang mengatur peran CEO klub, berikut batasan-batasannya. Supaya peran CEO klub, tidak lagi tumpang tindih, dan lebih profesional. Karena dasar dari sebuah kompetisi profesional, adalah tata kelola, dan regulasi yang benar-benar profesional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H