Menjelang kongres PSSI 2017, 8 Januari 2017, salah satu topik penting, yang ramai dibicarakan publik, adalah sosok pelatih timnas U-22, dan senior, dengan Alfred Riedl, dan Indra Sjafrie, sebagai kandidat terkuat. Topik penting lain, yang akan dibahas, adalah penetapan regulasi pemain asing, untuk kompetisi Liga Indonesia 2017.
Aspek regulasi pemain asing yang dibahas, meliputi; jumlah maksimal pemain asing dalam satu tim, dan kriteria standar kualitas pemain asing. Kriteria standar kualitas pemain asing di sini adalah berdasarkan level kompetisi liga, yang diikuti klub terakhir si pemain asing. Penetapan regulasi ini penting, karena akan menentukan arah kebijakan klub peserta, terkait perekrutan pemain asing.
Dari segi jumlah maksimal pemain asing dalam satu tim, jika berpatokan pada regulasi AFC (Konfederasi Sepakbola Asia), maka kriterianya adalah 3+1. Maksudnya, 3 pemain asing dari benua manapun, plus 1 pemain asing, dari negara-negara anggota AFC, termasuk Australia. Kuota jumlah ini, sudah diterapkan di Indonesia, dan mungkin akan dilanjutkan di kompetisi Liga Indonesia 2017.Â
Kriteria kedua adalah level kompetisi liga, yang diikuti klub terakhir si pemain asing, paling rendah Divisi Dua, dan akan diverifikasi keabsahannya. Kriteria ini, sebenarnya bertujuan baik; karena menetapkan standarisasi kualitas, untuk pemain asing, di kompetisi Liga Indonesia. Tapi, dapat  menjadi masalah tersendiri.
Pertama, sumber daya keuangan klub-klub Indonesia relatif terbatas. Jika standarisasi ini benar-benar diterapkan, dapat menjadi beban keuangan tersendiri bagi klub. Karena, untuk standar kualitas tinggi, berarti bayarannya juga tinggi. Padahal, masalah tunggakan gaji, masih menjadi masalah klasik di Indonesia yang tak kunjung beres. Ironisnya, masalah ini justru menjadi semacam budaya negatif, di sepakbola kita. Kita tentu tak ingin, tragedi Diego Mendieta, terulang lagi di Indonesia.
Kedua, regulasi ini kurang objektif, karena memukul rata standar kualitas pemain asing yang ada, tanpa disertai dukungan informasi yang memadai. Akibatnya, dapat terjadi salah informasi. Sebagai contoh, kasus pencoretan Kiko Insa, pemain asing Arema FC asal Spanyol, akhir Desember 2016 lalu. Meski ia masih terikat sisa kontrak tiga tahun, dengan Arema FC. Pencoretan ini, dilatarbelakangi klaim Ruddy Widodo, Manajer Umum Arema, yang menyatakan, klub terakhir Kiko Insa, sebelum ia main di Indonesia tahun 2015 (Keflavik IF, Islandia), adalah klub divisi tiga Liga Islandia.
Sehingga, kontraknya dianggap gugur, karena dinilai tidak sesuai ketentuan yang berlaku. Padahal, pada tahun 2015, klub ini masih bermain di kasta tertinggi Liga Islandia, dan saat ini (musim kompetisi 2016 dan 2017) bermain di kasta kedua (divisi dua) Liga Islandia. Apalagi, timnas sepakbola Islandia, adalah tim perempatfinalis di ajang Euro 2016 lalu. Sebagai catatan, kompetisi sepakbola di Islandia, berlangsung tiap musim semi-musim panas (bulan Mei-September), karena, pada musim gugur dan dingin, rata-rata suhu di Islandia berada pada titik beku nol derajat celcius, bahkan minus.
Permasalahan lain, yang berpotensi muncul, adalah jika jadi ditetapkan sistem verifikasi, pada tiap pemain asing. Jika lolos verifikasi, memang tidak akan jadi masalah. Tapi, masalah akan muncul, jika ternyata si pemain gagal lolos, meski sudah tanda tangan kontrak. Klub jelas akan rugi. Karena sudah membayar uang muka kontrak si pemain, dan harus membayar kompensasi, jika kontraknya batal. Klub itu sendiri, terpaksa harus menggelar seleksi pemain asing lagi. Akibatnya, Â persiapan klub terganggu.
Pada akhirnya, berapapun kuota jumlah, dan apapun kriteria standar, untuk pemain asing, di Liga Indonesia musim 2017, harus ditetapkan secara objektif. Jangan sampai keputusan itu merugikan klub, atau si pemain asing itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H