Dua kali unggul, tapi dua kali kebobolan. Itulah gambaran performa Tim Nasional Indonesia, saat bermain imbang 2-2 melawan Tim Nasional Filipina. Hasil ini belum menutup peluang Timnas Indonesia untuk lolos ke babak semifinal Piala AFF. Tim Garuda masih bisa lolos, tapi dengan sejumlah catatan, Pertama -dan yang utama-, Tim Garuda harus mampu mengalahkan Tim Nasional Singapura di laga terakhir penyisihan grup, dan kedua, Timnas Filipina gagal menang atas Timnas Thailand.
Syukurlah, skenario ini mampu terwujud, Timnas kita mampu lolos ke semifinal, setelah mampu menumbangkan Singapura 2-1. Meskipun, itu adalah kombinasi antara kerja keras pemain kita, plus ‘belas kasihan' Timnas Thailand, yang menjegal Filipina 1-0. Di semifinal, sudah menunggu lawan kuat; timnas Vietnam. Capaian ini sebenarnya adalah sesuatu yang membanggakan, sekaligus mengkhawatirkan. Membanggakan, karena ini adalah perbaikan dari capaian Tim Garuda di Piala AFF edisi 2012 dan 2014, dimana kita tersingkir di fase grup. Mengkhawatirkan, karena kita semakin kesullitan bersaing di level ASEAN, dan menunjukkan betapa stagnan progres persepakbolaan kita. Disaat negara-negara tetangga sibuk membenahi diri, dan memasang target tinggi, kita masih sibuk berebut jabatan. Negara-negara tetangga kita -termasuk Filipina dan Timor Leste- berlomba-lomba memasang target jangka panjang; menebus peringkat 100 besar FIFA. Untuk level yang lebih tinggi, ada Thailand yang mampu lolos ke ajang Piala Asia 2019, dan fase akhir Pra Piala Dunia 2018 Zona Asia.
Apa yang Timnas kita tampilkan di Manila mencerminkan bagaimana rupa persepakbolaan Indonesia saat ini. Pertama; tajam dalam menyerang, tapi rapuh saat bertahan. Kedua; cepat dalam berlari, tapi cepat lelah, ketiga; -yang paling memalukan- kepentingan klub masih diatas kepentingan Tim Nasional. Keempat; kuat di laga kandang, tapi loyo saat laga tandang.
Untuk poin pertama, ketajaman serangan timnas kita terlihat dari enam gol yang mampu dicetak Tim Garuda dari tiga laga yang sudah dijalani, masing-masing dua gol ke gawang  Timnas Thailand, Singapura, dan Filipina. Sayangnya, ketajaman serangan itu justru diikuti dengan rapuhnya pertahanan kita, ini terlihat dari tujuh gol yang masuk ke gawang Kurnia Meiga, empat gol dari Thailand, dua gol dari Filipina, dan satu dari Singapura. Buruknya koordinasi, dan penempatan posisi para pemain saat bertahan terlihat jelas di sini. Masalah ini jelas terlihat saat para pemain Timnas mulai kelelahan di 15 menit akhir masing-masing babak. Dapat dikata, poin pertama, dan kedua adalah faktor teknis yang saling berkaitan. Inilah kelemahan yang sejauh ini sukses dieksploitasi lawan.
Celakanya, kelemahan teknis ini masih ditambah dengan kelemahan bersifat nonteknis; pembatasan kuota jumlah pemain klub yang boleh masuk timnas, yakni maksimal dua pemain per klub. Hal ini merupakan buah kesepakatan antara PT GTS, selaku operator kompetisi, dan klub-klub peserta kompetisi ISC A. Akibatnya, pemilihan pemain timnas menjadi tidak objektif, karena tidak dilihat murni berdasarkan performanya, tapi dilihat berdasarkan klub asalnya. Keterbatasan pilihan pemain ini diperparah dengan masalah lama bernama mentalitas jago kandang. Apa yang ditampilkan Tim Garuda di Filipina sangat kontras dengan apa yang mereka tampilkan saat beruji coba melawan Malaysia di Solo. Mereka terlihat gugup dan kurang greget, tidak seperti saat bertannding di rumah sendiri.
Apapun hasil di Piala AFF nanti, inilah saat untuk sepakbola Indonesia berubah, dan berbenah. Terpilihnya Pangkostrad Letjen Edy Rahmayadi sebagai ketua umum PSSI, dan bergulirnya kompetisi baru tahun depan adalah momentum yang tepat. Kita tidak bisa hanya terbuai dengan besarnya potensi sepakbola yang kita punya. Kita harus berbenah, dan berubah, dengan cara membina potensi itu sebaik mungkin, jika tidak ingin semakin tertinggal. Bisa, Indonesia?
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H