Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Bisnis Makelar ala Sepakbola

2 Desember 2016   09:58 Diperbarui: 2 Desember 2016   17:08 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bisnis properti, dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, istilah ini lekat dengan kegiatan jual-beli atau sewa pada tanah, bangunan, atau kendaraan. Dalam prosesnya, penjual dan pembeli dapat bertemu langsung, atau dipertemukan oleh pihak ketiga alias makelar. Secara fungsi, makelar ini berperan sebagai makcomblang, dan negosiator selama berlangsungnya proses transaksi. Tujuannya adalah mencapai harga terbaik. Semakin tinggi harga yang disepakati, semakin besar juga komisi yang didapat si makelar.

Pendekatan serupa juga berlaku dalam sepakbola. Dalam sepakbola, pihak ketiga alias makelar diperankan oleh agen pemain, dan perusahaan manajemen olahraga. Agen pemain sudah ada sejak lebih dari setengah abad terakhir, sedangkan perusahaan manajemen olahraga baru marak bermunculan sejak sedekade terakhir. 

Dalam bertugas, agen pemain murni berperan sebagai negosiator, yang jika sudah deal akan mendapat komisi, walaupun ia tidak punya hak milik sama sekali atas pemain yang diageninya. Contoh kasusny adalah, kasus transfer Paul Pogba, dengan Mino Raiola sebagai agennya. Transfer ‘balikan' Il Polpo (Si Gurita), dari Juventus ke Manchester United pada musim panas 2016, sukses memecahkan rekor dunia transfer pemain. Tercatat, Si Setan Merah harus membayar biaya total 89 juta pounds untuk memulangkan Pogba ke Manchester.

Rinciannya adalah 67 juta pounds masuk ke kantong Juventus, dan 22 juta pounds masuk ke kantong Mino Raiola. Belakangan, terungkap bahwa proses negosiasi transfer ‘balikan' ini sudah berlangsung sejak tahun 2014, dengan Mino Raiola memegang peran penting didalamnya.

Di sisi lain, dalam sedekade terakhir, marak bermunculan tren kepemilikan hak pemain oleh pihak ketiga (third party ownership). Pihak ketiga ini umumnya adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang  manajemen olahraga, dengan modal finansial yang kuat.

Dalam prosesnya, mereka melibatkan agen sebagai negosiator, karena mereka berkepentingan dengan presentase hak milik mereka atas si pemain. Tren third party ownership pertama kali muncul di Amerika Selatan, lalu merambah ke  Portugal. Kemunculan tren ini awalnya dilatarbelakangi oleh kondisi keuangan yang bermasalah di sejumlah klub Amerika Selatan. Masalah ini bertolak belakang dengan potensi kualitas pemain yang ada. Akibatnya, klub-klub ini terjebak dalam dilema; jika dijual, kekuatan klub menurun, tapi jika tidak dijual klub terancam bangkrut. Ibarat makan buah simalakama.

Rupanya, situasi ini dicermati, dan dilihat sebagai peluang bisnis oleh perusahaan manajemen olahraga. Mereka melihat celah dari belum tegasnya aturan FIFA soal kepemilikan pemain. Melalui tangan agen yang menaungi pemain, mereka menawarkan solusi mudah, tanpa harus menjual pemain andalan klub kepada klub lain. Caranya adalah membeli sebagian hak milik atas pemain dari klub. Nantinya, jika pemain ini diminati sebuah klub, klub peminat itu harus melakukan negosiasi transfer dengan dua pihak; klub asal, dan pihak ketiga, sebelum berbicara dengan si pemain.

Solusi dari pihak ketiga itu lalu disetujui klub, dan berkembang menjadi tren kepemilikan pemain di Amerika Selatan. Pola kepemilikan pemain ini dianggap sebagai solusi penyelamat yang paling mudah. Tetapi, wajah asli dibalik topeng penyelamat klub ini mulai terlihat saat pemain yang dimiliki bersama ini diminati klub lain. 

Sering terjadi ketidaksinkronan antara harga yang ditetapkan klub, dengan harga yang ditetapkan oleh pihak ketiga, yang menerapkan jurus aji mumpung. Akibatnya, klub peminat mundur, dan transfer pun batal terjadi, tak jarang, karir sang pemain menjadi stagnan lalu menurun setelahnya. Kalaupun ada yang mampu memenuhi, klub itu adalah klub dengan  daya beli tinggi. Meskipun tetap saja menyisakan potensi masalah di kemudian hari.

Contoh paling kontroversial adalah kasus transfer Neymar, dari Santos ke Barcelona pada musim  panas 2013 dengan mahar 57 juta euro. Ketika itu, baik Barca maupun pihak Neymar sendiri kompak menyatakan, itulah biaya transfer yang resmi. Tetapi, kemudian muncul pihak ketiga yang mengklaim kalau El Barca belum memenuhi kewajiban mereka terkait transfer Neymar secara tuntas. Belakangan, diketahui kalau Santos hanya memiliki 60% hak kepemilikan atas Neymar, dan 40% sisanya adalah milik pihak ketiga. Adapun, kasus ini masih bergulir hingga sekarang.

Sepakbola modern memang tidak sekadar soal teknik, taktik, dan strategi di atas lapangan. Ia adalah industri dengan nilai bisnis yang luar biasa besar, sekaligus sumber kehidupan bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Klub sepakbola memang membutuhkan uang, seperti halnya manusia supaya dapat tetap bertahan hidup. Tetapi, lebih dari itu, sebuah klub lebih membutuhkan keberadaan pemain-pemain di dalamnya. Karena klub tanpa pemain bukanlah klub. Ia hanyalah simbol kosong belaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun