Ketika seperti biasanya ia bangun pukul empat subuh ia merasa menjadi orang gila. Orang gila yang tersenyum sendiri, tertawa sendiri, menangis sendiri, tanpa perduli dengan orang-orang yang memandangnya aneh, tanpa perduli dengan terik matahari atau guyuran hujan.
Orang gila seperti itu pernah ia lihat suatu sore. Waktu itu ia sangat lelah setelah seharian bekerja. Di kantor tempatnya bekerja sedang ada proyek pengadaan buku. Sudah seminggu buku-buku berdatangan dari pagi sampai sore. Sebagai karyawan bagian gudang ia harus membuka kardus, menghitung buku sesuai pesanan, mengepaknya lagi dalam kardus, dan menyusunnya di gudang yang sangat luas. Siangnya, setelah lelah bekerja, ia hanya makan semangkuk bakso. Bukan karena sedang tidak napsu makan. Tapi keuangannya memang hanya sampai pada semangkuk bakso.
Sore yang melelahkan itu ia takjub melihat seorang gila yang tertawa-tawa sendirian, tertawa yang terdengar sangat menyenangkan. Orang gila itu tidak perduli kepada orang-orang yang melihatnya getir. Dia ingat, orang gila itu sebenarnya sudah berkali-kali ia lihat. Di waktu lain orang gila itu menangis sendirian. Menangis yang terdengar sangat menyayat, sangat menyedihkan. Dia merasa, seperti itulah tertawa dan menangis dari hati. Tertawa dan menangis yang membahagiakan.
Waktu itu ia sempat berpikir, betapa bahagianya jadi orang gila. Tentu orang gila tidak mesti berpikir, tidak mesti tertekan, tidak mesti lelah bekerja, dan malaikat pun tidak akan mencatat dosa-dosanya. Dia rasa, orang gila adalah orang yang disayang Tuhan.
Dan kalau lapar? Rasa lapar tentunya akan menuntun tubuhnya mencari makanan. Matanya akan clingak-clinguk melihat sesuatu yang bisa dimakan, tangannya akan mengais-ais tong sampah, atau menadahkan tangan dan menunjuk perutnya di depan warung nasi kecil. Dia rasa akan banyak orang memberinya makanan alakadarnya. Banyak orang kecil, pemilik warung-warung kecil, yang yakin dengan memberi sodaqoh akan memperlancar rejekinya.
Bila rasa lapar sudah hilang orang gila akan kembali ke kebahagiaannya. Dia bisa tersenyum sendiri, tertawa sendiri, menangis sendiri, atau bercerita tentang apa saja sendirian. Sungguh hidup yang aneh tapi membahagiakan.
Perhatian ia kepada orang gila itu berawal ketika ia melihat orang gila lainnya suatu pagi. Orang gila yang tersungkur di pinggir jalan, telungkup, tanpa sehelai benang menutupi tubuhnya. Waktu itu ia sedang duduk melamun di dalam bis kota yang melaju pelan. Begitu melihat orang gila itu ia melonjak dari tempat duduknya. Seperti terkena aliran listrik ia kaget. Tanpa berpikir ia berdiri, berteriak meminta bis kota berhenti, dan tergesa meminta jalan kepada penumpang yang penuh sesak.
Dia berjalan seperti berlari mendekati orang gila yang telungkup telanjang bulat itu. Tapi belum juga sampai kepada orang gila yang telungkup di tempat sampah dadakan itu, dia menghentikan langkahnya. Mau diapakan orang gila itu? Mungkin orang gila itu sedang sekarat. Tidak kuat menahan lapar dan haus. Setelah mengais-ais makanan orang gila itu roboh. Kalau seperti itu, mau diapakan orang gila itu? Diberi makanan dan minuman? Dia merogoh sakunya, uangnya tinggal untuk semangkok bakso dan ongkos bis kota. Atau dibawa saja ke rumah sakit? Pengendara mana yang mau mengantarnya dengan gratis, rumah sakit mana yang sukarela memberi pengobatan tanpa surat-surat?
Akhirnya dia duduk di pinggir jalan, hanya memandang orang gila yang telungkup di antara sampah yang dibuang oleh orang-orang berjiwa kerdil. Ya, karena tempat itu memang bukan tempat sampah. Tapi bagi yang berjiwa kerdil, apa bedanya tempat sampah dan bukan? Asal sampah yang dibawanya itu keluar dari rumahnya. Bisa jadi sampah itu dilempar dari mobil, dari motor, atau sengaja datang ke tempat itu untuk membuang sampah karena sudah ada orang yang terlebih dahulu membuang sampah ke sana.
Orang gila yang telungkup itu tidak pernah menggerakkan badannya satu gerakan pun. Beberapa ekor lalat hinggap di punggungnya. Mungkin orang gila itu sudah tidak bernafas. Kalau sudah mati, apa yang mesti dilakukannya? Menggendongnya berkeliling kota mencari pemakaman gratis? Apakah ada kompleks pemakaman yang gratis? Dia ingat sebuah berita: seorang bapak menggendong mayat anaknya berjalan kaki dari Jakarta sampai ke Jawa Tengah karena tidak punya uang, jangankan untuk pemakaman untuk ongkos pun tidak ada.
Puluhan mobil dan motor sebenarnya lalu lalang di jalanan ini setiap detiknya. Tapi tidak ada satu kendaraan pun yang berhenti, penumpangnya turun atau sekedar melongok melihat orang gila yang telungkup itu. Mereka terlalu sibuk. Sibuk bekerja. Sibuk mengejar materi. Tapi melupakan hati mereka, hati yang tertinggal di orang gila yang telungkup di pinggir jalan. Siapa pun yang melihat orang gila itu hatinya akan tersedot, tapi siapa yang perduli dengan hatinya?