"Tidak sama sekali, Pak Kiayi. Saya hanya melihat-lihat, ada tidak di sini jalan ke surga. Katanya surga ada di langit. Tapi sudah empat penjuru kampung ini saya teliti, tidak ada jalan ke surga."
"Di kampung lain ada jalan ke surga, Kabayan?"
"Ada. Semua kampung punya jalan ke surga, kecuali kampung kita!"
"Kenapa?"
"Karena kampung kita dikotori orang kaya yang tidak perduli sudah dua hari tetangganya tidak makan nasi, orang kaya yang lebih baik menyewa mata-mata daripada memberi sedekah." (hal.32)
Tahun 2017 ini saya berkesempatan lagi mengumpulkan dongeng-dongeng Si Kabayan, maka saya memilih menuliskan kembali dongeng-dongeng yang klasiknya. Si Kabayan Memancing Siput, Si Kabayan Memetik Buah Nangka, Si Kabayan Ingin Diundang (dalam bahasa Sunda: Ngadeupaan Lincar), yang ada dalam buku Si Kabayan Jadi Sufi, ditambahkan dengan dongeng klasiknya yang dulu belum sempat dituliskan. Buku baru ini diterbitkan oleh Bhuana Ilmu Populer (Gramedia Grup).
Mungkin karena pilihan saya "mengisah ulang" episode yang bernuansa religi dan kritik sosial dalam Si Kabayan Jadi Sufi, seorang teman yang suku Minangkabau bertanya juga, "Jadi karakter Si Kabyan sebenarnya seperti apa?"
**
Ikuti cerita, dongeng, dan bahasan tentang literasi lainnya di http://dongengyusrismail.blogspot.co.id/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H