Mohon tunggu...
Yosepri Alfazi
Yosepri Alfazi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

www.kuberbagi17.com\r\nMembaca adalah kunci awal sebelum menulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kurrikulum Indonesia, Mengekangkah ?

10 Mei 2015   12:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:11 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Fenomena corat-coret baju pasca Ujian Nasional (UN) bisa dikatakan agenda rutin tahunan bagi pelajar di negeri ini. Disamping itu, mereka akan kompoi beramai-ramai berkeliling mengendarai sepeda motor merayakan kelulusan mereka. Dan yang lebih menggemparkan kali ini adalah undangan pesta bikini pelajar SMA bertajuk “GoodBye UN Pool Party Divine Production SPLASH AFTER CLASS”. Meskipun acara tersebut sudah dibatalkan. Hal ini tentu mencoreng pendidikan bangsa. Fenomena seperti semakin menunjukkan bahwa generasi muda sedang diambang kehancuran.

Melihat kejadian dari tahun ke tahun kebiasaan buruk seperti ini bisa jadi karena minimnya moral atau akhlak yang tertanam dalam diri anak didik “Moral Crisis”. Disisi lain kita juga bisa melihat bahwa mengapa para pelajar begitu antusias, bersorak kegirangan ketika mereka lulus UN ?. pada akhirnya mereka merasa, “yess…aku bebas…”. Hal ini memberi sinyal kuat bahwa mereka sekolah seakan-akan dikekang. Hal ini dimulai dari pendidikan tingkat dasar sekalipun.  Dalam tingkat Taman Kanak-Kanak (TK), anak didik ditarget agar sudah bisa calistung (membaca, menulis dan berhitung). Sampai kepada orang tua pun berasumsi, mereka akan malu jika anaknya belum bisa membaca atau berhitung setelah lulus dari  TK.

Banyak sekali kejadian anak didik stress seperti yang terjadi pada tahun 2014 lalu. Seorang anak perempuan usia enam (6) tahun dirawat di RSJ Duren Sawit, Jakarta Timur. Sang anak stress karena diforsir beragam les.  Sang anak memperagakan cari gurunya mengajar, jika ditanya maka ia akan menjawab dengan angka-angka, atau dengan bahasa inggris.

Hal seperti ini berlanjut kepada pendidikan tingkat berikutnya. Pada SMP, dan SMA, kurrikulum yang begitu berat membuat anak merasa terkekang. Sehingga ketika mereka merasa masa sekolah telah berakhir, mereka meluapkan rasa kebebasannya dengan corat-coret baju. Meski begitu, sumber permasalahan bukan saja terletak pada kurikulum.

Dalam ilmu perbandingan pendidikan, tentu kita haru berkaca dengan negara yang pendidikannya maju seperti Finlandia atau Kanada. Karena pada hakekatnya sistem pendidikan di Indonesia belum menemukan sistem yang tepat “masih mencari jati diri”. Alhasil, perubahan kurikulum acap kali terjadi. Anak didik pun ikut terseret menjadi korban. Dalam kurun waktu 1 tahun ajaran berapa kali siswa harus mengganti buku, membeli buku paket baru.

Seringnya perubahan kerikulum menjadikan keuntungan sendiri bagi penerbit buku sebagai “lahan bisnis”. Hal seperti hendaknya dicermati dan diperbaiki. Menciptakan aura baru dalam  dimana anak didik nyaman bersekolah, tidak merasa terkekang. Untuk mewujudkan aura tersebut, diperlukan adanya kerjasama yang kuat karena pendidikan adalah tanggung jawab keluarga, masyarakat dan pemerintah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun