Masih ramai sepertinya kasus penyadapan AS ke pemerintahan Indonesia, dan Jokowi serta Ahok jadi sasaran tembak oleh sebagian orang.
Pertanyaan saya, apa yang bisa dipelajari dari situasi tersebut?
Jawabannya adalah aktivitas spionase. Saya tidak akan mengangkat isu tersebut dalam tulisan ini sebab keterbatasan pengetahuan dan ketertarikan, saya ingin membahas kemungkinan peran serta spionase untuk memperbaharui Jakarta.
Pemda Jakarta sedang berusaha menggalakkan program transportasi masal, salah satu upayanya adalah melalui jalur bus khusus yang diplot agar steril dari kendaraan2 non Transjakarta. Ironisnya program itu kurang optimal sebab maraknya pengendara yang melanggar, maka dari itu sekarang diterapkan denda besar bagi para pelanggar.
Apa yang bisa membuat masyarakat yakin bahwa denda tersebut bisa mendisiplinkan para pengguna jalan sekaligus menegakkan hukum? Banyak yang pesimis dan skeptis, termasuk saya. Disinilah peran spionase dalam mendidik masyarakat dan menegakkan hukum.
Bagaimana cara nya? Mengadopsi kisah Jokowi yang diberhentikan polantas saat masih menjabat di Solo (tolong koreksi bila salah), maka timbullah ide ini.
1. Pemprov DKI menyediakan anggaran khusus yang bisa diambil dari anggaran operasional Gubernur/Wagub. Katakanah 1-2 miliar.
2. Anggaran tersebut digunakan untuk menyebar mata2 (katakanlah sebanyak 100 orang). Sebagian dari anggaran bisa digunakan untuk biaya perlengkapan kamera dan speaker mini yang akan menjadi perlengkapan para mata2.
3. Tugaskan para mata2 tersebut untuk melanggar jalur Transjakarta, selama jam kerja mereka, dan tugas utama mereka adalah menyuap saat ditilang, sebab ada kalkulasi komisi dari kuantitas penyuapan. Bila penyuapan gagal, si mata2 terpaksa harus pulang ke pos dan mengikuti proses hukum (nominal denda akan ditanggung pemprov). Bila penyuapan berhasil, maka si mata2 harus tetap mencari pelanggaran untuk menyuap.