Kekerasan terhadap perempuan pada dasarnya dapat terjadi dalam berbagai dimensi, mulai dari kekerasan fisik, psikologis, seksual, trafficking, dan lain sebagainya. Dalam konteks ini, fenomena pengantin pesanan yang di Singkawang, Kalimantan Barat yang termasuk kekerasan terhadap perempuan dalam dimensi human trafficking akan menjadi fokus dalam tulisan ini. Tulisan ini, disusun berdasarkan studi literatur yang menggabungkan informasi yang diperoleh dari buku, jurnal, artikel berita dan akademik, hingga laporan-laporan pemerintah maupun NGO. Berdasarkan studi literatur yang telah dilakukan, ditemukan bahwa fenomena pengantin pesanan ini dapat terjadi sebagai akibat dari kemiskinan, keterbatasan pendidikan, penipuan dan pengelabuan, hingga struktur sosial-masyarakat yang cenderung patriarkis. Selaras dengan hal tersebut, tulisan ini berupaya untuk mengetahui bagaimana fenomena ini dapat terus terjadi di Indonesia.
Kata kunci: Kekerasan terhadap perempuan, pengantin pesanan, Singkawang, trafficking.
Perdagangan manusia atau human trafficking pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM, mengingat adanya penodaan terhadap harkat dan martabat manusia (Kusniati, 2011). Jika berkaca pada kondisi yang terjadi di Indonesia saat ini, ditemukan bahwasanya perdagangan manusia seringkali menimpa perempuan dan anak-anak. Berkenaan dengan hal ini, fenomena pengantin pesanan yang terjadi di Singkawang, Kalimantan Barat dapat dikategorikan sebagai salah satunya (Hanifah, 2008). Dalam pelaksanaannya fenomena ini, melibatkan pihak ketiga sebagai “makelar” untuk mempertemukan kedua calon mempelai dan keluarganya (Khameswara et al, 2022). Mirisnya dalam hal ini mempelai perempuan seringkali menjadi korban lantaran “makelar” seringkali melakukan tipu daya, yang membuat dirinya rentan untuk menjadi korban human trafficking. Mengingat langgengnya fenomena yang problematik ini, tentu menarik untuk mengetahui bagaimana fenomena ini dapat terjadi hingga saat ini.
Berdasarkan pendahuluan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dari itu penulis mengajukan pertanyaan penulisan sebagai berikut:
Bagaimana fenomena pengantin pesanan dapat terjadi di Singkawang, Kalimantan Barat?
Jika ditarik kebelakang, pada dasarnya fenomena pengantin pesanan di Singkawang, Kalimantan Barat tidak dapat dilepaskan dari kebijakan one child policy di China, yang dalam hal ini memicu permasalahan berupa ketidakseimbangan jumlah laki-laki dan perempuan di negara tersebut. Pasca diberhentikannya kebijakan one child policy ini pada 2015, tercatat bahwa setiap 150 laki-laki hanya berbanding 100 perempuan yang mana perbedaan yang cukup siginifikan nyatanya membuat 30 juta laki-laki di China kesulitan untuk mencari pasangan (Sulivan, 2013). Berkenaan dengan itu, hal inilah yang menjadi pemicu terjadinya fenomena pengantin pesanan di Singkawang, Kalimantan Barat. Mengingat, laki-laki di China tidak memiliki banyak pilihan untuk menentukan pasangannya dan adanya kesamaan budaya diantara mereka dengan masyarakat Singkawang, Kalimantan Barat juga semakin mendorong terjadinya fenomena ini (Khameswara et al, 2022).
Selaras dengan apa yang telah dipaparkan di atas, celah tersebut kemudian dimanfaatkan oleh segelintir pihak tidak bertanggung jawab yang berperan sebagai “makelar” untuk mempertemukan mempelai laki-laki dari dataran China dengan perempuan setempat, di mana praktik ini seringkali di sebut dengan che siaw (Yulianti, 2013). Pada dasarnya, terdapat beberapa hal yang mendorong terjadinya fenomena ini, yang diantaranya adalah: adanya kesamaan budaya diantara kedua mempelai, faktor kemiskinan yang menjerat korban (mempelai perempuan), dan tingkat pendidikan yang rendah serta minimnya informasi dari korban beserta keluarga akan praktik ilegal ini (Khameswara et al, 2022). Singkatnya, faktor-faktor ini yang kemudian dimanfaatkan sekaligus menunjukkan bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam dimensi human trafficking yang dilakukan oleh para “makelar” yakni dengan memperdaya korban serta keluarganya.
Berkenaan dengan hal tersebut, che siaw dapat langgeng terjadi berkat peran para “makelar” dengan tiga peranan, yang diantaranya: Pertama, mencari klien-klien dari negara China dan sekitarnya. Kedua, mencari perempuan-perempuan untuk kemudian dipertemukan dengan para klien. Dalam perananan yang kedua ini, perlu digarisbawahi bahwa perempuan-perempuan yang dipilih biasanya berasal dari keluarga pra-sejahtera dengan keterbatasan ekonomi dan pendidikan, di mana hal ini biasanya mendorong keluarga tersebut untuk menikahkan anak-anak perempuannya dengan laki-laki dari luar negeri dengan harapan dapat keluar dari jeratan kemiskinan. Ketiga, mengurus dokumen-dokumen yang dibutuhkan oleh mempelai perempuan untuk pindah ke negara asal mempelai pria, setelah melangsungkan pernikahan (Yulianti, 2013). Menghadapi fenomena tersebut, Indonesia pada dasarnya telah memiliki serangkaian regulasi untuk mencegah dan meminimalisir kekerasan terhadap perempuan, khususnya dalam dimensi human trafficking, yang diantaranya adalah: UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi CEDAW, Joint Decree 2002 berupa Keputusan Bersama Pemerintah dalam Pelayanan dan Penanganan Korban Trafficking, serta UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Niko, 2018). Terlepas dari itu, nyatanya che siaw nampaknya tetap menjadi pekerjaan rumah bagi Pemerintah Indonesia, sebab sampai dengan hari ini fenomena menyimpang ini masih terus terjadi.
Guna menganalisis studi kasus yang diangkat dalam tulisan ini, penulis akan menggunakan teori ekofeminisme Françoise d'Eaubonne dalam karyanya Le Féminisme ou la Mort yang terbit pada tahun 1974. Secara garis besar, teori ini berargumen bahwasanya sistem patriarki bertanggung jawab atas diskriminasi sosial yang mendorong terjadinya dominasi laki-laki dan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan (d'Eaubonne, 1974). Berkenaan dengan hal tersebut, teori ini meyakini bahwa perubahan sistem sosial dan ekonomi merupakan solusi guna mencegah dan meminimalisir hal-hal yang telah disebutkan di atas.
Jika mengaitkan teori diatas dengan fenomena che siaw di Singkawang, Kalimantan Barat, pada dasarnya dapat terjadi lantaran struktur sosial masyarakat yang seringkali menempatkan perempuan di posisi yang subordinat. Dalam hal ini, tergambar dengan jelas ketika mempelai perempuan mau tidak mau bersedia untuk dinikahkan dengan mempelai laki-laki dari negara China dan sekitarnya. Lebih lanjut, hal ini kemudian juga diperparah dengan kondisi ekonomi dan pendidikan mempelai perempuan dan keluarganya yang tidak cukup baik, sehingga rentan untuk menjadi korban penipuan dan pengelabuan oleh para “makelar” yang menjalankan bisnis che siaw ini. Hal yang lebih problematik dalam konteks ini ialah ketidakjelasan Nasib dari mempelai perempuan setelah menikah dan pindah ke negara asal suaminya, di mana membuat dirinya rentan untuk menjadi korban kekerasan, serta tidak ada jaminan juga bahwa dirinya dan keluarga dapat meperbaiki kondisi ekonomi yang ada saat ini.
Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa fenomena pengantin pesananan di Singkawang di Kalimantan Barat dapat digolongkan sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam aspek trafficking dan eksploitasi seksual. Berkenaan dengan hal ini, adanya pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang memainkan peran sebagai “makelar” dalam melanggengkan praktik illegal ini harus diberikan pengamatan dan penanganan khusus oleh pihak-pihak yang terkait dan berwenang. Sebab dalam hal ini penulis meyakini bahwa adanya pengamatan dan penanganan khusus kepada mereka dapat dengan signifikan memutus mata rantai praktik illegal pengantin pasangan di Singkawang, Kalimantan Barat ini sendiri.