Mohon tunggu...
Yoseph Kelik
Yoseph Kelik Mohon Tunggu... -

pria berambut keriting, bertubuh kurus, dan bekerja sebagai juru tik full time...

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Aroma Cempaka Sang Legenda Kuliner Jambi

22 Maret 2011   15:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:33 2313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_97619" align="alignright" width="300" caption="Hidangan dendeng, udang goreng panas, serta ayam goreng panas di Rumah Makan Aroma Cempaka, Cempaka Putih, Jambi"][/caption] KONON, satu cara paling mudah untuk menandai rumah makan bercitarasa masakan enak adalah dengan melihat seberapa ia laris didatangi pembeli setiap harinya. Jika memakai ukuran ini, maka orang agaknya tak perlu ragu dengan sensasi rasa hidangan ala Minang yang dimiliki Rumah Makan Aroma Cempaka, Jalan HMO Bafadhal, Cempaka Putih, Jambi.. Tengok saja suasana setiap hari di rumah makan tersebut kala siang datang, khususnya pada sekitar pukul 11.00 sampai dengan 13.00. Rumah makan yang menjadi embrio awal serta sekaligus pusat jaringan Aroma Cempaka di Kota Jambi itu, yakni Cempaka Sari Thehok, Aroma Cempaka Thehok, juga Aroma Cempaka Koatabaru, selalu saja begitu hiruk pikuk oleh pembeli. Satu contohnya adalah sebuah Ahad siang di penghujung 2010 lalu. Halaman serta sepetak kecil tanah kosong di seberang jalan rumah makan penuh oleh mobil-mobil terparkir. Jumlah mereka empat belas buah Rinciannya adalah delapan MPV plus tiga jenis sedang terparkir di halaman dan sedikit meluber hingga ke badan jalan. Pasalnya, mereka ini memang mesti berbagi ruang pula dengan sekitar sekitar tujuh buah sepeda motor. Tepat di seberang, tiga MPV lain yang tak tertampung di halaman terparkir memunggungi rumah makan. Alhasil, ruas jalan di depan rumah makan yang beroperasi sejak 23 tahun silam itu pun menjadi menyempit beberapa lama. Tiga tukang parkir yang ada dipaksa lebih bekerja keras mengatur lalu lintas kendaraan yang terhambat agar tak sampai macet terlalu lama. Sekitar sejam setelah tengah hari itu, Aroma Cempaka yang boleh dibilang merupakan legenda kuliner di Kota Jambi itu memang sedang ramai oleh pengunjung. Dari 26 meja yang tersedia, tiga saja yang masih kosong. Selain itu, masih ada pula pengunjung yang berdiri di sekitar pintu masuk serta di bagian luar bilik kaca tempat memamerkan dan meracik makanan. Mereka itu adalah pengantre makanan untuk dibungkus dan dibawa pulang. Suasana yang mirip seperti ini berulang kembali pada petang hari. Pengecualian keriuhan harian dari usaha keluarga yang selalu berganti pucuk pimpinan setiap pengelola utamanya menikah itu cuma terjadi selama bulan Ramadhan dan beberapa hari selepas Lebaran. Itu karena pada rentang waktu tersebut Aroma Cempaka memang memilih melakukan jeda operasi secara total. Nasinya Wangi "Saya biasanya kalau makan di Aroma Cempaka pesannya ayam goreng. Itu yang paling enak Gorengan ayamnya memang beda dari yang lain, garing. Sambalnya boleh juga rasanya," kata Ugi (25), seorang pengunjung Rumah Makan Aroma Cempaka Jalan HMO Bafadhal, Cempaka Putih yang saya ajak berbincang seusai bersantap di pada Jumat (31/12) sore. Saat itu, pria muda asal Muara Bulian tersebut makan sore di sana bersama istri tercintanya, Indai (22). Imbuh alumnus sebuah sekolah tinggi medis tersebut, ia semasa kuliah juga menjadi pelanggan Rumah Makan Cempaka Sari, Jalan Jenderal Sudirman, Thehok, Jambi, yang merupakan bagian jaringan Rumah Makan Aroma Cempaka. Menurutnya rasa masakan antara rumah makan yang di Cempaka Putih dan di Thehok sama enaknya. Sepotong cerita ini tadi dibagikan Ugi beberapa saat sebelum ia meninggalkan rumah makan memakai Honda Jazz warna merahnya. Soal hidangan enak di Aroma Cempaka, Ahmad Said (24), seorang karyawan perusahaan kontraktor listrik, lebih memfavoritkan udang goreng panas. Ia acap memilih menu udang goreng panas saat ada kesempatan makan siang bersama dengan rekan-rekan sekantornya tadi. Namun, Boejank Kribo, demikian ia biasa dipanggil kawan-kawan dekatnya, mengaku lebih sering makan di Rumah Makan Aroma Cempaka yang ada di daerah Kotabaru dari pada rumah makan pusat jaringan di Cempaka Putih. Kebetulan rumah makan yang ada di Kotabaru lebih dekat dengan kantornya. "Yang lain yang paling saya suka, nasi di Aroma Cempaka itu wangi," kata pemuda berambut keriting itu. Ah, kalau mendengar sedikit tuturan yang mencerminkan kepuasaan dari Ugi dan Boejank tadi, wajar jadinya orang rela berjubel di Aroma Cempaka setiap harinya... Ayam dan Udang Goreng Panas Sebagaimana galibnya sebuah rumah makan dengan masakan ala minang, Aroma Cempaka tentu saja menyediakan aneka pilihan yang variatif. Itu paling tidak bisa diamati dari tatanan piring pajangan hidangan di bilik kaca tempat pamer dan racik makanan di bagian depan rumah makan. Namun, soal pengalaman kuliner yang paling memanjakan lidah, Rumah Makan Aroma Cempaka, khususnya yang di Cempaka Putih, tentu saja memiliki menu andalan. Sore hari terakhir tahun 2010 itu, saya berkesempatan berbincang dengan Pengelola Rumah Makan Aroma Cempaka di Cempaka Putih saat ini, Ali (28).  Menurutnya, menu makanan ada dua yang paling spesial, sedangkan minuman satu macam. "Menu andalan di sini ayam goreng panas dan udang goreng panas. Untuk minumannya yang spesial kelapa muda jeruk atau bahasa Jambinya dogan jeruk. Minuman itu disajikan dalam gelas," kata Sarjana Teknik lulusan Universitas Bung Hatta, Padang tersebut seraya tersenyum. Imbuh pemilik nama lengkap Jamali itu, ayam goreng panas dan udang goreng panas ini semula hanya digoreng setengan matang dan disimpan di dapur. Menu andalan ini tidak ikut dipajang di etalase depan. Baru ketika ada order dari tamu, ayam dan udang setengah matang itu lantas digoreng matang dan disajikan panas-panas. Daging ayam  untuk menu ayam goreng panas ini pun berbeda dengan ayam untuk menu pajangan di etalase depan. Ayam goreng panas diolah dari ayam kampung asli, bukan ayam kampung yang dipelihara dengan dikandangkan. Kata Ali, menu pajangan di etalase depan diolah dari ayam potong. Agar lebih nikmat dalam menyantap ayam goreng panas maupun udang goreng panas, maka tersedia juga sambal dengan racikan khusus. Delapan Ton Beras Di balik larisnya Rumah Makan Aroma Cempaka di Cempaka Putih pada setiap harinya ada serangkain angka-angka tertentu yang berkenaan dengan kebutuhan produksi maupun omzet mereka dalam Rupiah. Untungnya, Ali sang pengelola tak pelit untuk berbagi rinciannya. Menurut pengelola keempat Aroma Cempaka di Cempaka Putih sejak pertama beroperasi pada 23 silam itu, rumah makannya memergunakan beras yang dipasok khusus dari Sumatera Barat untuk nasi hidangan. Jenis spesifik beras yang dipakai adalah beras solok. Pilihan beras tersebut telah menjadi pakem Aroma Cempaka sejak sekitar sewindu terakhir. Lanjut Ali, beras yang dihabiskan Aroma Cempaka dalam sebulannya berkisar di angka delapan ton. Sedangkan untuk bahan baku lauk semacam ayam, rumah makan yang merupakan usaha dari keluarga besar Jabudah (65), ibu dari sembilan orang anak itu dapat menghabiskan hingga sekitar 200 ekor ayam. Angka 200 tersebut adalah angka untuk akhir pekan serta hari libur. Pada hari kerja biasa, rumah makan itu menghabiskan paling sekitar 160 ekor ayam. Untuk bumbu semacam cabai merah, Aroma Cempaka rata-rata mampu menghabiskan hingga sekitar 45 kilogram. Untuk cabai hijau, rumah makan itu menghabiskan sekitar separo dari kebutuhan cabai merah, yakni di kisaran angka 25 kilogram. Nah, ketik ditanya soal omzet per hari, anak kedelapan Jabudah tersebut tak langsung menjawab. Ia semula hanya tersenyum. Namun, ketika saya coba menebaknya dengan serangkaian nominal, pada angka sepuluh juta ia lantas merespon. "Hmmm....lebih dari itu," ucapnya singkat. Empat Kali Ganti Hal menarik tentang bisnis keluarga yang saat ini berupa jaringan empat buah rumah makan di seluruh Kota Jambi tersebut adalah tak sekadar bersangkut paut dengan citarasa. Perkembangan usahanya selama hampir seperempat abad sejak berdiri tak kurang pula menarik untuk disimak.. Aroma Cempaka di Cempaka Putih, Jelutung Jambi merupakan rumah makan usaha keluarga yang telah berdiri sejak 23 tahun silam. Menurut Ali sang pucuk pimpinan, pada Jumat itu, pendiri Aroma Cempaka adalah ibunya yakni Jabudah (65) dan kakak sulungnya yang bernama Sidi Janidi (44) yang biasa dipanggil Edy. Sejak berdiri tahun 1987 hingga saat ini, ada tiga rumah makan yang memiliki keterkaitan langsung dengan Aroma Cempaka di Cempaka Putih, Jelutung. Ketiganya adalah Aroma Cempaka Thehok, Cempaka Sari Thehok, serta Aroma Cempaka  Kotabaru. Aroma Cempaka Jelutung merupakan usaha bersama keluarga Jabudah. Tiga rumah lainnya merupakan usaha pribadi milik sejumlah anak Jabudah yang pernah menjadi pengelola Aroma Cempaka Jelutung. Aroma Cempaka Thehok adalah milik Edy si anak sulung. Cempaka Sari adalah kepunyaan Jafrizal si anak nomor tiga. Aroma Cempaka Kotabaru adalah usaha bersama Armen si anak keenam dan Ir Janari si anak nomor dua. Soal kisah berdiri dan perjalanan usaha Aroma Cempaka, saya pun pernah mendengar tuturan langsung dari Edy sebagai sang pendiri. Itu merupakan bagian obrolan dengan pemilik dan pengelola Rumah Makan Aroma Cempaka Thehok, yang berada tak seberapa jauh dari Simpang Jelutung tersebut. Obrolan itu sendiri telah berlangsung cukup lama, yakni pada suatu sore di akhir Februari 2010. "Berdiri tahun 1987, bulan tujuh, tanggal tujuh," kata Edy berbagi cerita tentang tanggal pasti berdirinya Rumah Makan Aroma Cempaka di Cempaka Putih. Menurut Edy, Aroma Cempaka berdiri sebagai inisiatifnya setelah melihat usaha jahit ayahnya ternyata kurang mampu mencukupi kebutuhan keluarga. Padahal, keluarga itu memiliki sembilan anak yang mesti dihidupi. Pada waktu bersamaan, lapak kaki lima usaha dagang perkakas Edy di Gang Siku, Pasar Tanah Pilih, digusur oleh petugas ketentraman dan ketertiban Pemerintah Kotamadya Jambi. Edy dan ibunya pun lantas membuka warung makan sebagai cara memeroleh nafkah. Warung itu didirikan tepat di sebelah kios jahit sang bapak. Edi dan sang ibu berbagi tugas. Ia menjadi tukang belanja, sedangkan sang ibu menjadi tukang masak. Waktu itu, tak ada pegawai yang mereka miliki. Di kemudian hari, warung itu menjadi sumber nafkah utama keluarga Jabudah. Itu terjadi lebih lagi selepas ayah Edy memilih pergi meninggalkan Jambi dan tinggal di Sumatera Barat hingga sekarang. Dalam tempo enam bulan, warung makan yang semula hanya memasak nasi sekitar sekilo dua kilo itu mampu membesar. Seingat Edy, warung mereka ketika itu telah bisa menghabiskan 30 ekor ayam, 12 hingga 15 kilogram daging sapi, serta 30 kilogram tetelan. Pada tahun 1990, warung makan  itu  berkembang hingga akhirnya memiliki enam meja. Label Aroma Cempaka pun mulai dipakai. Semula warung itu memang tak memasang plakat nama resmi. Ada memang nama Setampang Baniah, tetapi nama itu hanya tertera di stempel. "Orang kalau beli nasi di tempat kami menyebutnya beli nasi di Cempaka, jadi ya saya tambahi saja depannya dengan 'Aroma'", kata Edy. Edy memilih berhenti mengelola Aroma Cempaka Jelutung pada 1994. Ketika itu, Aroma Cempaka telah menjadi sebuah rumah makan yang cukup besar dan memiliki omzet sekitar Rp 700 ribu per hari atau kira-kira setara dengan sekitar Rp 3 juta nilai uang sekarang. Namun, Edy sempat kembali turun tangan mengurusi pengelolaan rumah makan pada 1999 dan itu berlangsung selama tiga bulan pada 1999. Ketika itu, Aroma Cempaka sempat mengalami penurunan omzet drastis, yakni dari rata-rata Rp 700 ribu per hari pada 1994 menjadi hanya Rp 80 ribu per hari saja pada 1999. Hal tersebut menurut Edy merupakan imbas dari tak berhasilnyanya ekspansi usaha berupa pendirian rumah makan padang bernama Surya Baru di daerah Jelutung. Edy berhenti mengelola Aroma Cempaka Jelutung tak seberapa lama setelah ia menikah. Menurutnya, itu sudah menjadi niatnya agar rumah makan itu dapat awet sebagai usaha keluarga. Ia tak ingin kepentingan keluarga intinya akan mengacaukan usaha keluarga besarnya. Berganti kepemimpinan setiap kali pengelolanya menikah kemudian menjadi pola suksesi di rumah makan yang memiliki menu hidangan andalan berupa ayam goreng panas serta udang goreng panas tersebut. Sampai sekarang, rumah makan yang memunyai minuman spesial dogan jeruk alias kelapa muda jeruk itu  itu telah mengalami pergantian pengelola utama sebanyak empat kali. Edy yang memimpin dari 1987 sampai dengan 1994 digantikan oleh Jafrizal. Setelah memimpin selama lima tahun, Jafrizal yang menikah pun digantikan oleh Armen pada 1999. Pada akhir 2009, tongkat pengelolaan berpindah ke Jamali (28) alias Ali, anak kedelapan Jabudah. (yoseph kelik) *Dimuat di halaman 15 Harian Pagi Tribun Jambi pada Minggu, 2 Januari 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun