Pelajaran ini baru saya dapatkan setahun terakhir. Setelah seorang sahabat saya sejak bangku Sekolah Menengah Pertama,tiba-tiba hilang dari peredaran. Kami memiliki grup "WA" tentunya, namun dia hanya membalas seperlunya dan menulis semaunya, itu kesan saya saat mulai meyadari perubahan itu.
     Sah-sah saja membatasi pergaulan dalam judul "sedang sibuk " dengan keluarga dan permasalahan masing-masing.Tidak ada yang perlu disalahkan karena memang hal demikian sangat mungkin terjadi. Hanya saja tiba-tiba menghilang itu yang sempat membuat saya tidak nyaman dengan perubahan ini.
    Saya mencoba kirim personal message,berusaha mencari tahu dan merasa harus tahu apa yang sedang terjadi kepadanya. Sedikit ego bahwa merasa "aku kan sahabatmu, maka aku boleh tahu masalahmu!", pemikiran-pemikiran semacam itu yang tergambar jelas di otak ini, sampai lupa diri dan lupa membatasi diri oleh rasa ingin tahu yang seharusnya tidak demikian berlaku. Mencoba kirim pesan setiap minggu sampai berjalan beberapa bulan. Dan jawaban tidak seperti yang diharapkan dan diinginkan. Marah, sedih, kecewa semua bercampur aduk di dalam hati ini, bagaimana bisa aku adalah sahabatnya, bagaimana bisa dia tidak mau bercerita, itu saja yang ada di kepalaku.Â
    Sampai pada suatu waktu, saat aku membawa kesakitan dan kemarahan ini di dalam doa dengan tak lupa mempertanyakan kenapa? mengapa? kepadaNYA, tiba tiba saja aku tersadar dalam tangisku, aku tiba-tiba berfikir mungkin saja sahabat kecilku sedang menjalani waktu -waktu yang menyedihkan dan menyakitkan, tapi tidak bisa bilang? lalu kenapa aku begitu kejam?
    Sahabatku sedang tidak butuh pertanyaan,sahabatku sedang tidak butuh telinga untuk mendengar,sahabatku sedang tidak bisa meminjam tangan lain untuk membantunya mengerjakan dan menyelesaikan masalahnya,sahabatku sedang tidak bisa bercerita, iya..begitulah kondisinya sekarang. Sahabatku hanya perlu didoakan untuk kemudian ia menjadi dikuatkan, mungkin.
    Suatu siang yang panas, ku sempatkan menyambangi rumah ibunya.Entah kenapa aku ingin kesana dan bersilaturahmi, sepertinya keinginan manusiawiku untuk tetap ingin tahu, masih tersisa 10-15%, tidak benar-benar hilang dari benakku. Aku masih ingin bertanya jika situasi dan kondisinya memungkinkan, apakah sahabatku baik-baik saja Bu?? Ah, itu jika saja mungkin. Kalau tak berkesempatan pun tak apa pikirku dan kubulatkan niat melanjutkan perjalanan ini.
    Ku ketuk pintu beberapa kali, dan..............tidak terbayangkan sama sekali, dia berdiri di sana membuka pintu rumah itu. Sahabatku. Aku memeluknya dan dia menyambutku. Dan semua pertanyaan yang sudah seperti rapalan di kepalaku semua mendadak hilang, aku tidak ingat lagi harus bertanya apa. Dia hanya minta doa. Dia tidak akan bisa bercerita seperti dulu waktu masih di bangku Sekolah Menengah Pertama, bercerita dulu sepertinya membuat hati lega, ini tidak lagi sama Phine, dia menyebut nama panggilan sayangnya untukku. Cerita tidak lagi mengurangi beratnya cawan ujian yang sedang dia teguk, menyambut tangan bentuan bukan berarti akan mengurangi beban hidupnya. Tidak! semua tidak lagi sama. "Doakan aku ya Phine, u know me so well", dan aku hanya memeluknya dan membisikkan kata, "Pasti , Sha....be strong ya!".
   Dan sore mendesak siang yang penuh makna itu segera berlalu, tiket keretaku sudah di tangan dan aku harus segera kembali pulang. Aku belajar dua hal besar dalam persahabatan ini. Yang pertama bahwa kami masih sama, hanya cara kami yang berbeda dalam menjalaninya. Dia tetap sahabatku yang dulu, demikian juga aku baginya. Hanya saja, waktu dan jarak ini membuatnya sangat berbeda. Yang kedua adalah, betapa kita harus belajar memahami dan mengerti kondisi orang lain tanpa berusaha menghakimi sikap dan perilakunya secara sepihak tanpa kita tahu apa dan bagaimana keadaannya.
   Terimakasih Isha, doaku untukmu.
   Â
   Siang menuju sore di Jalan Imam Bonjol 27