Mohon tunggu...
yosephine purwandani
yosephine purwandani Mohon Tunggu... Freelancer - karyawan swasta

Ibu dengan 3 anak Hobi : mendengarkan musik, koleksi perangko

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Uang Baru dan Bapak Penjual Serbet

1 September 2023   13:45 Diperbarui: 1 September 2023   14:01 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

          Entah hal lumrah atau tidak lumrah yang kulakukan ini, kalau ada lembaran uang baru selalu kusimpan dan sayang digunakan. Kebetulan hari itu ada 10 lembar uang baru sepuluh ribuan dan ajaibnya penunggu dompet sore itu hanya itu dan selembar uang lima ribuan dan selembar lagi uang dua ribuan. Pesan singkat anak sulungku bahwa perlu beli perlengkapan dekor untuk persiapan project P5 sudah membuatkan belajar dan siap siap mengikhlaskan lembaran baruku untuk itu, "toh besok sudah gajian", gumamku dalam hati dan menenangkan diri (emak mulai pening saudara, mulai oleng !!).

        Sore itu perjalanan pulang kantor biasa saja, aku tidak terlalu tergesa, jalanan ramai motor dan mobil, para penikmat perjalanan luar kota seperti aku rupanya cukup banyak. Lampu merah membuat kendaraanku berhenti pada deretan yang lumayan jauh dari lampu lalu lintas. 

Pandanganku tertuju pada seorang bapak "sepuh" yang berlari sembari melampaikan tangan pada sebuah bis yang mulai berjalan karena lampu lalu lintas sudah hijau. Aku masih belum paham, sampai aku melintasi Bapak itu dan melihat beliau dengan jelas dari kedekatan. Ah, nampaknya beliau berjualan serbet. Sekilas tersungging senyum di wajahnya, sambil tersenggal nafasnya karena lelah berlari kecil mengejar bis kota yang tidak terkejar. Reflek dalam hatiku berkata, "kalau itu aku, aku pasti sudah marah dan mengumpat tidak jelas karena jengkel dan marah dengan keadaan"(ah sungguh malu aku melihatnya, Bapak, terimakasih ilmu kehidupannya).

      Aku melaju kendaraanku, dan kucari sisi bahu jalan yang masih cukup untuk parkir kendaraan tanpa mengganggu pengguna jalan yang lain. Aku menunggu Bapak "sepuh" tadi. Lumayan lama ternyata,  jalan beliau mungkin sudah capek, sehingga butuh waktu lama untuk sampai di posisiku (terang saja, aku kan berkendara, sementara beliau berjalan plus dengan kondisi yang sudah lelah pastinya). Segera setelah sampai dan dekat dengan kendaraanku, beliau langsung tersenyum ramah seolah lupa dengan lelahnya, beliau langsung menawariku serbet dagangannya. 

"Mbak, mau beli serbet? dua puluh ribu dapat 3 serbet, mau mbak?". Rasanya aku ingin menangis, belum setengah jam berlalu aku melihatnya lelah mengejar bis kota, beliau tetap tersenyum, bahkan sekarang pun beliau tersenyum ramah sekali dan bersemangat sekali, betapa Bapak "sepuh"ini sangat menyentuh perasaanku. Segera ku jawab "iya Pak, Bapak mau kemana? ayok bareng dengan saya kalau mau?. Nampak ragu beliau bertanya apakah nanti tidak merepotkanku, kujawab "tidak Pak, sejalur kok, mari ikut saya".

Beliau segera naik, namun sayang tak banyak cerita yang bisa kugali, karena jarak turun beliau dengan beliau naik kendaraanku tidak terlalu jauh, hanya kurang lebih 1,5 km, sehingga kami hanya ngobrol singkat saja. Aku beli hanya 3 serbet saja, lembar lembar yang tak banyak ini harus kubagi bagi dengan jadwal sore ini. Maafkan saya Tuhan, hanya saya bagi 3 lembar saja untuk beliau, untuk serbet senilai 2 lembar, hanya saya lebihkan satu lembar saja. Sedihnya, Maafkan saya ya Pak!.

       Beliau tak henti berucap terimakasih, sambil melambaikan tangannya padaku saat turun dari kendaraanku. Tiga lembar itu menambah rekah senyumnya, menambah semangat lambaiannya, menambah kuat semangatnya. Dan sore itu membuat mataku menjadi buram, butiran air mata ini tak henti mengalir deras tanpa bisa kubendung, Bapak, terimakasih atas ilmu kehidupannya. Saya belajar lima hal sore ini, yang pertama, sesuatu yang kita perkirakan, kita inginkan dan harapkan tidak terjadi,tidak kesampaian harus tetap tegar menjalaninya dan tidak putus asa, seperti Bapak waktu kejar bis kota nya ya Pak!. 

Pelajaran kedua sesulit apapun keadaanmu, tetaplah bersyukur. Pelajaran ketiga, dalam kesulitanmu, jika ada orang berbaik hati menawarkan bantuannya, tetap tegarkan diri, jangan terlalu larut dalam kepasrahan dan kebahagiaan kemudian malah menjadi merepotkan, terima seperlunya sesuai kebutuhanmu, seperti bapak yang ditawarin bareng sampe jarak terdekat pun dengan jalur terpisahnya arah kami, beliau tetap minta turun di tempat pemberhentian bis kota karena tidak ingin merepotkan. 

Pelajaran ke empat, bahwa setiap hal itu akan ada rejekinya, meski kamu merasa hanya memiliki sedikit uang di dompetmu, tapi buat orang lain, nilai yang sama bisa jadi sangat banyak. Pelajaran ke lima, tak perlu menunggu lembar banyak untuk berbagi, kadang di saat kita merasa sedang "tongpes" pun, saat itu kadang ada kondisi yang membuat kita harus rela berbagi.

         Terimakasih Bapak "sepuh"

         Semoga kita bertemu lagi. Terimakasih sudah mengukir haru dan sentuhan pada hati ini, pada cerita kehidupanku sore ini.

         Saya berdoa untuk kesehatan Bapak dan keluarga ya, Amin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun