Beberapa waktu ini entah kenapa saya sering memimpikannya. Seorang sahabat, ah rasanya segan menyebut istilah itu sekarang. Nama lengkap suaminya saja saya tidak tau, bagaimana masih pantas mengatasnamakan hubungan kami adalah sahabat. Kalau saya sebut sahabat saya waktu remaja mungkin masih pas, dan saya masih merasa pantas.
Mungkin istilah kekinian yang paling pas untuk saya adalah "melow" atau "lebay". Namun apalah daya, tak bisa kubendung segala pemikiran dan perasaan yang datang tak diundang ini. Begitu saja beberapa sketsa cerita-cerita masa remaja kami secara bergantian mengisi pemutar ulang yang dikaruniakan Tuhan kepada saya, entah apa namanya betapa nikmat rasanya seolah ada pada ruang dengan fasilitas home theater, sangat nyata dan jelas. Menciptakan mendung-mendung kecil dalam hatiku, menciptakan riak-riak sakit dan bahagia silih berganti dalam hatiku, tak terbendung sudah, jatuhlah di sudut mataku air mata kerinduan.
Jika kerinduan itu adalah indah, lalu mengapa aku menangis?
Isha, tersadar aku pada masa itu aku sempat mengabaikanmu, bahwa aku memiliki beberapa "gank" sepermainan yang berbeda "genre", antar "gank" ini tidak bisa saling klop, karena memang beda gaya begitulah istilahnya waktu itu, tanpa sadar aku sedikit mengabaikanmu. Di waktu yang aku merasa menjadi manusia paling sedih se-dunia, paling sengsara se-dunia, bahkan menuju mati pun ingin kulalui, sampai kita melanjutkan hidup kita masing-masing, sampai kepada hari ini. Dan aku terlambat menyadari itu.
Di mana kamu bekerja, di mana kamu tinggal, hanya sebuah nama kota
Sungguh ingatan ini menyiksaku, dan membuatku terharu biru
Isha, maafkan aku.
Dan, ketauilah aku mengasihimu, merindumu sangat dalam jauh kedalaman hatiku.
Semoga selalu bahagia untukmu
Amin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H