Senin (20/3) lalu, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengundang sebagian netizen untuk berdialog. Dialog yang berlangsung di Bangsal Kepatihan itu dihadiri netizen perwakilan dari berbagai komunitas, seperti Kompasianer, Kaskuser, admin komunitas media sosial dan sebagainya. Netizen tersebut tergabung dalam komunitas Masyarakat Digital Jogja (MASDJO).
Eksistensi Netizen Dalam Membantu Program Pemerintah
Mengapa Sri Sultan HB X, Selaku Gubernur DI Yogyakarta, merasa perlu mengundang Netizen atau Masjo? Ini petanyaan yang sempat mampir dalam pikiran saya, ketika mendapat kesempatan berdialog dengan Beliau. Pertanyaan ini terjawab di Bangsal Kepatihan Yogyakarta.
Di bawah sinaran lampu gantung klasik yang tampak elegan, Beliau mengungkapkan bahwa “Yang hadir di sini (netizen), sudah bisa menghadirken harapan baru bagi humas DIY”. Hal itu mengisyaratkan bahwa netizen dapat berperan sebagai perpanjangan tangan Pemda DIY, utamanya Humas. “Dimana Kami berharap humas ini dapat berfungsi dalam penggunaan IT” imbuh Beliau. Bahasa sederhananya, meskipun berkecimpung di dunia maya, netizen itu ada dan berperan nyata.
Bukan hanya menyebarkan informasi, netizen bahkan bisa membantu program pemerintah. Itulah yang mendasari dialog Gubernur DIY dan Netizen ini, yaitu membantu pemda DIY dalam membangun Digital Government Service (DGS) dan mewujudkan Jogja Cyber Province (JCP). Program tersebut intinya adalah pemanfaatan teknologi informasi untuk berbagai layanan publik di Yogyakarta. Tujuannya adalah sistem layanan publik yang lebih efektif dan efisien.
Cita-Cita dan Kendala Digital Government Service
Blueprint DGS ini sebenarnya telah dirancang sejak tahun 2006 dan telah mendapat respon positif dari Microsoft, yaitu berupa bantuan komputer. Sebagai langkah awal penerapan DGS, pemerintah daerah DIY telah membekali berbagai dinas dengan komputer. Selain itu, yang diutamakan adalah pada aspek pendidikan, dengan cara membekali dengan komputer. Harapannya agar siswa melek teknologi informasi.
Namun, program digitalisasi ini terkendala masalah birokrasi. “Kami tidak mungkin punya programmar dan operator yang tetap” ungkap Sultan. “Pegawai di daerah kalau naik pangkat tidak boleh 2 kali di dalam 1 institusi, berarti di zig-zag” tambah Beliau.
Kondisi tersebut membuat suatu intitusi “kehilangan” pakar IT, saat pakar IT tersebut akan naik pangkat. Akhirnya, intitusi akan kesulitan memiliki pegawai yang benar-benar bisa membangun DGS yang terstruktur dan berkelanjutan. Solusi masalah tersebut adalah dengan merekrut pegawai kontrak, untuk mengisi kekosongan-kekosongan di SKPD.
Gubernur DIY: Netizen sanggup tidak bekerjasama mendesain DGS?