“Kira-kira, kalau saya punya ide, kira-kira bapak-bapak bisa gak (membantu)?” tanya Gubernur DIY pada Netizen peserta dialog. Jujur saja, pertanyaan ini membuat saya “deg-degan” dan semakin bersemangat mendengarkan kalimat berikutnya. Sebab, pertanyaan tersebut mengindikasikan bahwa beliau mengakui eksistensi netizen dan menghendaki peran aktif netizen, dalam hal ini Masyarakat Digital Jogja (Masdjo).
“Saya harus potong kompas ya, untuk menghidupken Digital Government Service tadi, yang diharapken dapat menjawab setiap pertanyaan publik” tambah Beliau. “Biarpun bapak memberi informasi, tapi bapak sebetulnya tau persis bagaimana mendesain sistem informasi itu dalam memberi informasi kepada publik” Beliau tampaknya paham betul, bahwa setiap saran, kritik dan informasi yang diutarakan Netizen pada pihak Pemda, sebenarnya sudah sangat dipahami netizen, termasuk bagaiamana kendala dan solusinya.
Akhinya, pertanyaan inti pun muncul dari orang nomer satu di tanah Istimewa ini, “Bapak (netizen) sanggup tidak bekerjasama untuk mendesain (DGS)?” tanya Sri Sultan HB X pada sekitar 50 netizen yang diundang. Pertanyaan ini memang tak langsung dijawab oleh Netizen. Namun, Sri Sultan HB X terlebih dahulu ingin mendengar saran, kritik dan keluhan dari netizen.
Sri Sultan HB X Pendengar Yang Baik
Saya memang tak begitu paham indikator sesorang bisa disebut pendengar yang baik. Yang saya pahami, ketika sesorang tampak begitu serius mendengarkan ucapan lawan bicara dan kemudian mencatatnya, itu saya anggap sebagai pendengar yang baik. Seperti itulah yang dilakukan Sri Sultan HB X saat mendengar keluhan dan saran netizen.
Selain membahas DGS, Sri Sultan HB X juga menampung aspirasi dari berbagai komunitas media warga ini. Banyak keluhan, kritik dan juga saran yang mendarat di buku catatan Beliau. Ya, saat itu, Beliau tampak serius mendengarkan netizen yang mendapat kesempatan untuk berbicara, yang kemudian Beliau tulis.
Grup tersebut sangat aktif membahas masalah transportasi, informasi jalan, kecelakaan dan membantu pengendara yang mengalami kesulitan di jalan. Karena kiprah sosialnya yang sangat baik, anggota grup Facebook ICJ terus bertambah, mencapai 490 ribu. Pun begitu dengan akun Instagram ICJ, yang diikuti sekitar 237 ribu akun instagram.
Mas Antok, mengawali “ceritanya” dengan tujuan dari dibentuknya ICJ, “topik utama kami sebenarnya menghubungkan komunikasi antara keluhan masyarakat dengan dinas terkait”. Tanpa ragu, Ia mengungkapkan kekagumannya pada pihak Kepolisian, “tahun 2016 kemarin, beberapa bulan yang lalu, Plat nomer (polisi) yang belum jadi itu diantar ke rumah sama bapak-bapak Polisi. Sungguh luar biasa sekali”, yang langsung disambut tepuk tangan meriah. Tak hanya memuji pihak Kepolisian Polda DIY, Beliau juga memuji respon cepat Jasa Raharja dalam memberi santunan korban kecelakaan.
Tak hanya memuji, Pentolan ICJ tersebut juga mengkritik penyebab kemacetan di Kota Yogyakarta. “Hanya di Jogja, Bus AKAP bisa masuk ke pusat kota dan truk bisa masuk ke pusat kota siang hari jam 10, hanya di jogja, sungguh istimewa” Keluhnya. Beliau berharap pengaturan tegas mengenai jam masuk bus dan truk di wilayah kota, untuk mengurangi kemacetan.
Pun begitu dengan sistem parkir kendaraan di jalanan Yogyakarta, dibutuhkan peraturan dan tindakan yang tegas untuk menata sistem parkir, terutama di bahu jalan. Dibalik kritikan itu, mas Antok menyadari bahwa masalah itu timbulnya dari masyarakat sendiri. Masyarakat sebenarnya sadar dengan prilaku yang kurang tepat terkait parkir. Sebab, tak jarang ditemui masyarakat yang “Kelewat Sadar”, “karena kesadarannya terlalu tinggi, kalau bukan saya yang parkir di situ, akan ada orang lain yang parkir duluan” canda Mas Antok. Intinya, parkir di tempat “terlarang” pun menjadi rebutan.