Mohon tunggu...
Yosep Efendi
Yosep Efendi Mohon Tunggu... Dosen - Penikmat Otomotif

Selalu berusaha menjadi murid yang "baik" [@yosepefendi1] [www.otonasional.com]

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pendidikan “Semesta” Ala Presiden Joko Widodo

18 Oktober 2016   21:31 Diperbarui: 19 Oktober 2016   10:57 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin sempat membaca tulisan Kompasianer tentang SMK. Beberapa waktu sebelumnya juga ada yang menulis tentang SMK. Tulisan-tulisan tersebut mengingatkan saya dengan artikel yang 2 Agustus 2016 lalu saya kirim ke redaksi Opini Kompas. Tak perlu ditanya apakah tulisan tersebut dimuat di harian Kompas cetak atau tidak. Ya, tebakan Anda benar, tidak dimuat,hehehe….

Artikel tersebut tak cukup kuat bersaing dengan artikel hebat yang masuk ke redaksi Opini Kompas. Ia “dipulangkan” dengan halus oleh redaktur Opini Kompas pada tanggal 11 Agustus 2016. Artikel yang saya beri judul “Pendidikan “Kerja, Kerja, Kerja””  itu adalah ungkapan keresahan saya pribadi sebagai orang yang bekerja di arena Pendidikan Kejuruan. Sekaligus ungkapan harapan saya atas hadirnya Bapak Muhadjir Effendy sebagai mendikbud yang baru. Yang katanya, Beliau mendapat 2 mandat penting dari Presiden Joko Widodo, yaitu pemerataan program Indonesia Pintar dan mempertajam Pendidikan Kejuruan.

Presiden Joko Widodo benar-benar serius tentang rencananya untuk mempertajam pendidikan kejuruan. Dibuktikan dengan lahirnya Instruksi Presiden (Inpres) nomer 9 tahun 2016 yang ditetapkan pada 9 September 2016 lalu. Inpres tersebut berisi tentang Revitalisasi SMK dalam rangka peningkatan kualitas dan daya saing SDM Indonesia.

Berdasar hal tersebut, saya kembali tertarik untuk mengedit dan menambah isi artikel opini tersebut dan menyajikannya khusus untuk Kompasiana dan Kompasianer.  Cekidot….

Orientasi Pendidikan Kejuruan dan Nawacita

Pendidikan kejuruan bisa dalam bentuk formal dan nonformal. Yang paling menonjol di Indonesia adalah pendidikan formal kejuruan. Pendidikan formal Kejuruan di Indonesia dimulai sejak pendidikan menengah ke atas, yaitu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK). Orientasi SMK adalah memberikan kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan di Dunia Usaha/Dunia Industri (DU/DI). Pendidikan yang menjembatani antara masyarakat produktif dengan penyedia lapangan kerja (DU/DI). Artinya, pendidikan kejuruan adalah satuan pendidikan yang paling strategis dalam upaya meningkatkan kualitas, produktivitas sumber daya manusia dan menekan angka pengangguran.

Mengapa paling strategis? Sebab, pendidikan jenjang SMK lebih “mudah” diakses oleh masyarakat luas, ketimbang pendidikan kejuruan/vokasi di pendidikan tinggi, karena faktor biaya pendidikan. Oleh sebab itu, jika Presiden Joko Widodo ingin merealisasikan salah satu dari agenda penting Nawacita, yaitu meningkatkan produktifitas, kemandirian dan kesejahteraan masyarakat Indonesia, maka SMK adalah salah satu jawabannya.

Untuk mencapai cita-cita pendidikan kejuruan, proses pembelajaran di SMK harus sesuai dengan karakteristik dan prinsip pendidikan kejuruan. Salah satu pakar pendidikan kejuruan Internasional, Charles Allen Prosser (1871-1952), menjabarkan bahwa  lingkungan, metode pembelajaran, sarana dan prasarana pendidikan kejuruan harus relevan dengan yang ada DU/DI. Pun begitu dengan tenaga pendidik/instruktur, yang memiliki pengalaman dan keterampilan yang relevan dengan bidang keahlian yang diampu. Pertanyaannya, apakah pendidikan kejuruan di Indonesia sudah sesuai dengan prinsip tersebut?Belum sepenuhnya.

Inkonsistensi Pendidikan Kejuruan di Indonesia

Berdasarkan orientasi pendidikan kejuruan, maka lulusan SMK bisa langsung mendapat pekerjaan. Lulusan SMK juga bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau berwirausaha mandiri. Namun, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), lulusan SMK banyak yang menganggur. Data per Agustus 2015, SMK menyumbang 1.569.690 pengangguran terbuka. Artinya, ada masalah besar dalam pelaksanaan pendidikan kejuruan di SMK.

Kunci pembelajaran SMK adalah kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan kompetensi di dunia kerja. Ketika kompetensi lulusan SMK tidak bisa diterima di dunia kerja alias jadi pengangguran, artinya kurikulumnya tidak relevan. Padahal, konsep “Link and Match” telah lama diupayakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan era Wardiman Djojonegoro. Konsep tersebut menghubungkan pendidikan kejuruan dengan dunia kerja, mulai dari penyusunan kurikulum, proses pembelajaran, kompetensi guru, sarana hingga evaluasi pembelajaran SMK. Jika konsep itu dilaksanakan dengan baik, maka tak ada istilah menganggur bagi lulusan SMK.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun