[caption caption="Pilih mana? Premium, Pertamax atau Pertamax Plus? (Sumber Gambar: www.okezone.com)"][/caption]Tahun 2015, Pertamina sempat merugi lebih dari Rp 6 Trilyun dari penjualan Premium. Hal itu disebabkan oleh tingginya konsumsi Premium Nasional. Memasuki 2016, kabarnya Pertamina mendapat keuntungan besar, surplus. Bukan karena minat konsumsi Premium menurut tajam, tetapi karena rendahnya harga minyak dunia. Yang perlu disoroti bukan angka kerugian atau keuntungan Pertamina, tetapi tingginya minat konsumsi Premium. Oleh sebab itu, Mari Kita fokus terhadap minat masyarakat akan Premium.
.....
Rabu, 30 Maret 2016 harga Bahan Bakar Khusus (BBK) dievaluasi, mengalami penuruan rata-rata Rp 200/liter. Dua hari kemudian, giliran BBM bersubsidi (Premium dan Solar) yang turun, dengan besaran penurunan sekitar Rp 500/liter. Penurunan harga bahan bakar tersebut merupakan imbas dari tren harga minyak dunia yang rendah.
Berdasarkan hasil pengamatan pribadi di wilayah Yogyakarta, sehari sebelum penurunan harga bahan bakar, beberapa SPBU tampak lengang. Nampaknya fenomena itu terjadi di berbagai daerah, karena rencana penurunan bahan bakar sudah tersebar ke masyarakat. Sepertinya banyak masyarakat yang menahan diri untuk membeli bahan bakar. Sudah bisa diprediksi, pada hari penurunan harga BBM, SPBU kembali ramai. Antrian panjang pun tak terelakkan.
Jumat malam, 2 April 2016, berdasarkan hasil pengamatan, beberapa SPBU di wilayah Yogyakarta kehabisan Premium. Di SPBU lainnya memang masih memiliki stok Premium, namun sepertinya terjadi penipisan stok, karena hanya mengaktifkan sebagian dispenser saja. Jika biasanya SPBU tersebut mengaktifkan 4 dispenser, kini hanya 2 saja yang diaktifkan. Sehingga, kembali terjadi antrian panjang. Kondisi tersebut mengindikasikan sedikitnya dua hal, yaitu upaya pihak SPBU yang membatasi stok Premium sebelum penurunan harga atau minat konsumsi premium masih tinggi. Atau bisa saja keduanya, stok terbatas dan minat yang tinggi akan premium, sehingga kelangkaan premium tak terhindarkan.
Perubahan Muatan Kampanye BBM Bersubsidi
Faktor utama tingginya konsumsi Premium adalah harganya yang lebih rendah dibanding bahan bakar Gasoline lain. Selisih harga sekitar 6 persen lebih rendah dari bahan bakar nonsubsidi termurah yaitu Pertalite, nampaknya dianggap signifikan oleh masyarakat. Apalagi jika dibandingkan dengan Pertamax. Meskipun pengguna premium sudah banyak yang beralih ke Pertalite dan Pertamax, namun tetap saja Premium memiliki antrian terpanjang di berbagai SPBU.
Selama ini, kampanye yang digencarkan Pemerintah adalah tagline yang berhubungan dengan ekonomi, misalnya bagi yang mampu secara ekonomi, sebaiknya menggunakan BBM nonsubsidi. Kampanye tersebut nampaknya kurang efektif, karena belum adanya tolok ukur yang jelas mengenai “mampu” secara ekonomi untuk daya beli energi (BBM) dan disertai rendahnya kesadaran masyarakat golongan “mampu” untuk tidak menggunakan BBM Nonsubsidi. Faktanya, di SPBU masih banyak mobil-mobil mewah yang antri mengisi Premium.
Oleh sebab itu, Pemerintah dan pihak terkait mestinya menggunakan strategi kampanye lain, yang dapat mengalihkan pengguna BBM Non Subsidi, khususnya Premium, ke Pertalite atau Pertamax.
Hubungan RON dan Teknologi Otomotif
Sebelum membahas pola kampanye lain untuk mengurangi penggunaan Premium, alangkah baiknya Kita mengetahui bagaimana hubungan antara Research Octane Number (RON) dan teknologi otomotif.