Marwah dunia pendidikan, beberapa tahun terakhir mulai digoncang dengan maraknya praktik korupsi yang terjadi di dunia pendidikan. Terhitung sejak tahun 2005-2016 berdasarkan data ICW terdapat 425 kasus korupsi dana pendidikan yang merugikan negara triliunan rupiah. Lalu, bagaimana optimalisasi penggunaan anggaran dana pendidikan saat ini guna mendukung transparansi pada masyarakat?
Era millennial saat ini, kita dihadapkan oleh berbagai arus cepat globalisasi yang memberikan dampak perubahan sosial yang begitu besar. Revolusi industri yang cukup menguat dengan beragam akses teknologi dan informasi saat ini perlu diilhami untuk bisa memperkuat peran masyarakat dalam dunia pendidikan.
Oleh karena itu, sistem e-budgeting dana pendidikan kedepan perlu dipikirkan oleh Pemerintah untuk mengoptimalkan penggunaan dana pendidikan di berbagai sektor, utamanya penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pada implementasi tingkat sekolah.
Pemerintah sejauh ini telah memprioritaskan anggaran pendidikan Tahun 2018 yang mencapai Rp 444, 131 triliun. Adapun alokasi sebesar Rp 145,957 triliun terserap kurang lebih di 20 kementerian.
Dari 20 kementerian yang mengalokasikan anggaran pendidikan, Kementerian Agama memperoleh alokasi terbesar yaitu Rp 52, 681 triliun, disusul Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) sebesar Rp 40, 393 triliun, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sebesar 40, 090 triliun.
Melihat prioritas dana pendidikan tersebut, Pemerintah harus jeli dalam melaksanakan penganggaran. Terlebih pada penggunaan riil anggaran tersebut di lapangan. Hal ini, penting dipikirkan mengingat praktik korupsi penggunaan dana pendidikan yang tidak sedikit bahkan menunjukkan peningkatan yang serius.
Beberapa penyelewengan yang terjadi di lapangan, banyak diaktori oleh oknum kepala dinas, pejabat kementerian, anggota DPR/DPRD, kepala sekolah, guru, hingga rektor maupun dosen di tingkat perguruan tinggi. Lalu, apakah sistem yang dibangun saat ini dalam penganggaran dana pendidikan dan implementasinya belum cukup?
Menjawab hal tersebut, kita perlu sama-sama berpikir dan merenungkan untuk melihat bahwa di lapangan praktik-praktik kecil korupsi sering kali kita lihat dan biarkan begitu saja. Dalam hal penerapan dana BOS di beberapa daerah, di dinas pendidikan misalnya, masih saja ada oknum yang bermain proyek untuk mengadakan alat dan barang yang akan wajib dipesan oleh sekolah-sekolah pengguna dana BOS.
Begitu juga dengan buku pegangan siswa yang dipolitisasi oleh dinas pendidikan, sekolah maupun oknum-oknum guru dengan alasan beragam. Yang tak luput untuk disoroti ialah seringnya dijumpai 'kotak amal' yang sering muncul di meja-meja dinas pendidikan seiring pengurusan persoalan tertentu misalnya yang memang secara sukarela dipungut.
Tantangan Optimalisasi
Keterbukaan merupakan kunci pokok dalam proses pelaksanaan kebijakan publik. Begitu hendaknya ketika kita berbicara demokrasi pendidikan dalam konteks menyoroti kebijakan anggaran. Pendidikan bukanlah suatu hal yang dimanifestasikan sebagai alat untuk mencapai keuntungan tertentu. Namun perlu pemikiran seperti Bung Karno dan Bung Hatta yang mendapatkan pelajaran berharga dari Revolusi Prancis.