Mohon tunggu...
Yosep Dian Sulistyo
Yosep Dian Sulistyo Mohon Tunggu... -

Mau berusaha pasti bisa.. maka selalu berfikirlah I can do this!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Timpangnya ‘Pondasi’ Demokrasi Kita

30 Oktober 2014   17:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:09 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demokrasi di Indonesia tentu tak bisa dipisahkan dari dua hal pokok yakni representasi dan deliberasi. Hal itu secara gamblang tertuang dalam Pancasila, sila keempat yang berbunyi: ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Ungkapan tersebut bukan hanya menunjukan bahwa demokrasi itu dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat sebagaimana dikatakan Abraham Lincoln. Namun secara mendalam ungkapan tersebut telah mengajarkan bagaimana membangun cita-cita demokrasi melaluirepresentasi dan musyawarah mufakat sebagai pondasi utama.

Representasi ialah mandat rakyat yang wajib dijalankan guna mewujudkan kebermanfaatan kekuasaan bagi masyarakat luas. Sedangkan deliberasi lebih dikenal dengan musyawarah mufakat. Dua esensi tersebut sesungguhnya mampu menjadi pondasi utama demokrasi dalam mewujudkan negara yang mensejahterakan rakyat. Namun dalam perjalanannya, Indonesia saat ini masih terpenjara dalam ‘representasi bersyarat' yang tak jarang di dalamnya terdapat deal-deal politik guna merogoh kepentingan tertentu. Di sisi lain, demokrasi deliberasi yang menjadi kunci dalam melakukan transformasi menuju kedaulatan rakyat semakin terhimpit oleh representasi yang ‘tak berkesudahan’. Sirkulasi elit politik pun semakin terbatas oleh banyaknya wajah-wajah lama yang tak ayal juga membuat aspirasi masyarakat tidak didengar.

Pemilu 2014 yang telah berlalu, menjadi awal bagaimana banyaknya wajah baru yang akan menghiasi parlemen di Senayan. Masyarakat tak jarang banyak yang mempertanyakan, akankah ada perubahan yang ‘mencolok’ guna membangun peradaban bangsa ini?

Permusyawaratan

Permusyawaratan atau sering dikenal dengan kata ‘deliberasi’ oleh Habermas, sesungguhnya merupakan salah satu pilar dalam pelaksanaan demokrasi. Permusyawaratan tentu menjadi salah satu kunci utama dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia. Cita-cita permusyawaratan tersebut menunjuk pada dua prinsip yaitu keadilan sosial dan keadilan politik sebagaimana diutarakan Bung Karno dalam pidato perumusan dasar negara yang tertulis dalam Risalah Sidang BPUPKI. Tak hanya itu, melalui musyawarah mufakat maka kepentingan golongan dan kepentingan individu mampu diminimalisir guna mewujudkan persatuan yang mampu membangun kepentingan bersama. Beberapa waktu ini, kita ketahui bersama bahwa rakyat Indonesia merasakan kegelisahanya dimana RUU Pilkada yang diputuskan berdasarkan rapat paripurna di DPR memperlihatkan adanya upaya dalam memutus kedaulatan rakyat dengan menyerahkan demokrasi pada segelintir orang untuk memilih kepala daerah di daerahnya. Hal tersebut tentu mengundang reaksi keras dari berbagai pihak untuk menolak RUU Pilkada yang telah disahkan oleh anggota DPR dalam rapat paripurna.

Pengesahan RUU Pilkada tersebut menunjukkan bahwa para elit di DPR bukan lagi menjunjung tinggi asas musyawarah mufakat sebagai pondasi utama berdemokrasi untuk mewujudkan keadilan sosial dan politik guna membangun kepentingan rakyat. Voting yang menjadi kebiasaan lama lebih sering dibudayakan dengan mengandalkan representasi yang ada. Dengan begitu, yang terjadi di Indonesia selama ini lebih banyak menunjuk pada terlaksananya demokrasi perwakilan. Sedangkan demokrasi permusyawaratan kurang diutamakan karena memang ada suatu kepentingan tertentu yang dicari.

Secara gamblang representasi yang ada saat ini ialah ajang dalam mewakili golongan tertentu sebagai tunggangan partai politik tertentu guna membangun suatu kepentingan. Hal ini tak boleh terjadi secara menerus, sebab cita demokrasi yang dibangun harus berdasarkan pada adanya keseimbangan antara permusyawaratan dan perwakilan. Untuk itu, pemilihan kepala daerah wajib dilakukan secara langsung guna menjamin hak-hak politik rakyat sebagai konstituen untuk ikut menentukan masa depan bangsa.

Demokrasi Perwakilan

Dalam tataran teoretis ‘representasi’ menunjukkan suatu penghormatan terhadap rakyat untuk ikut ambil bagian dalam pembentukan kebijakan publik. Oleh karena itu, cita-cita kerakyatan ini perlu diaplikasikan dengan baik guna menjamin hak-hak politik rakyat sebagai konstituen. Pemilihan umum langsung 2014 telah menunjukan bahwa bangsa Indonesia telah berhasil dalam mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi yang menjadi obsesi masyarakat dunia. Pemilihan langsung oleh rakyat dalam menentukan pergantian pemimpin telah menunjukan partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan publik yang diharapkan akan membawa perubahan yang baik bagi para pemilih. Tidak dipungkiri, di satu sisi masih terdapat kelemahan-kelemahan dalam pemilihan langsung 2014 ini seperti adanya money politik, maraknya black campaign dan sebagainya.

Awal Oktober 2014 ditandai oleh bergantinya anggota parlemen lama dengan anggota parlemen yang baru dimana 560 anggota DPR telah dilantik dan melakukan sumpah/janji jabatan sebagai wakil rakyat. Munculnya banyak wajah baru khususnya dari para artis seperti Luky Hakim, Krisna Mukti, Desi Ratnasari, Primus dan lainnya turut meramaikan pelantikan anggota DPR tersebut. Mungkinkah hal ini menandakan adanya sirkulasi politik yang diinginkan oleh rakyat? Tentu bukan persoalan mudah menjadi representasi dari rakyat guna mewujudkan aspirasi rakyat Indonesia. Para elit yang duduk di DPR tersebut harus mampu menjadi penyambung lidah rakyat yang tidak boleh ‘tuli’ lagi akan penderitaan dan suara rakyat kecil yang setiap hari menjerit karena masih adanya busung lapar, pendidikan yang belum merata, pelanggaran HAM yang belum tuntas dan sebagainya.

Ada beberapa hal yang sesungguhnya menjadi inti pokok dalam permasalahan demokrasi kita yakni pertama, demokrasi tak boleh lepas dari representasi dan deliberasi. Hal tersebut menjadi syarat mutlak dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia yang tidak boleh ditinggalkan karena representasi tanpa deliberasi adalah sesuatu timpang dan syarat akan kepentingan tertentu. Begitu pula musyawarah tanpa adanya representasi dari rakyat akan menimbulkan banyak gejolak kepentingan. Kedua, cita-cita permusyawaratan guna mewujudkan keadilan sosial bagi bangsa Indonesia wajib dutamakan. Ketiga, transaksi politik yang berorientasi pada kepentingan pribadi dan golongan perlu dihapuskan dari mindset para elite politik. Dalam hal ini, agenda-agenda besar bangsa tidak boleh lagi dijadikan ajang tawar-menawar, transaksi politik maupun bargaining politik guna mencapai kepentingan individu maupun golongan tertentu sebab menjadi wakil rakyat perlu menjamin hak-hak dan aspirasi masyarakat luas. Oleh karena itu, untuk mewujudkan proses demokrasi yang menjamin kesejahteraan rakyat maka perlu perjuangan berat untuk melawan mafia-mafia politik yang menggerogoti lumbung rakyat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun