Di suatu hari  tahun 2008 saya pergi ke sebuah desa pedalaman di Aceh Utara yang berjarak puluhan kilometer dari pusat kota. Rencananya di hari itu ingin mencari sejumlah rumah anak yatim yang mendapatkan beasiswa dari sebuah lembaga Islam internasional.
Setelah menempuh jalan yang berbatu, jurang di kiri dan kanan badan jalan, sampailah saya disana dengan rompi hitam yang dipakai sudah berdebu.
Sampailah saya pada sebuah kios dan bertanya pada yang punya kios, dimana rumah anak yatim yang datanya ada sama saya, namun nahas di hari pertanyaan yang saya ajukan berbalas kata yang pedih bagi sebagian orang.
"Hei Kalian Hantu dari mana? Cari-cari rumah anak yatim? Mau kalian apa sebenarnya? "
Saya sangat terkejut di hari itu, tak memperkirakan akan mendengar jawaban demikian dari bapak si empunya kios, memang kawasan itu adalah daerah konflik beberapa waktu yang lalu. Jawab saya :
"Baik Pak Kalau bapak menganggap kami hantu, kami tetap manusia biasa dan tak pernah menjadi hantu, yang kami jalankan adalah jiwa kemanusiaan".
Setelah itu saya kembali lagi dari kunjungan saya, hari itu tak mendapatkan apa-apa seperti harapan sebelumnya.
Saya sangat mengerti dengan konflik bersenjata disana beberapa waktu yang lalu, sehingga pembawaannya menjadi curiga pada setiap orang baru.
****
Pembelajaran disini, marilah kita hargai sesama, tetap tersenyum walaupun hati sedang merasa perih, tetap menabur rasa saling menghargai walaupun kita tak dihargai.*
(YS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H