RIMBUN dan anggunnya deretan pepohonan di perbukitan Paru Anggang adalah buah cinta sebagian besar masyarakat Nagari Guguak Malalo. Anugerah Yang Maha Kuasa ini adalah sumber mata pencaharian bagi dari daerah pinggir Danau Singkarak ini di luar hasil danau. Selama enam decade terakhir, anugerah tersebut dipertahankan dari pihak yang mencoba mengeksploitasinya.
Secara umum, dalam konsep adapt Minangkabau, hutan dibedakan dua jenis yakni hutan cadangan dan hutan olahan. Hutan cadangan berupa hutan alami atau hutan ulayat yang dikelola oleh nagari. Sementara hutan olahan dikelola oleh masyarakat dalam bentuk parak.
Sebagai daerah yang terletak pada kelerengan di pinggir Danau Singkarak, Nagari Guguak Malalo sangat memuliakan hutan. Bahkan, hutan alami ditempatkan sebagai pusako tinggi. Salah satu hutan alami tersebut adalah Bukik Paru Anggang yang berbatasan dengan Nagari Asam Pulau, Kabupaten Pdang Pariaman.
Bukik Paru Anggang adalah sumber kehidupan sekaligus pelindung dari marabahaya bencana seperti galodo. Hutan perbukitan tersebut diyakini dibuka oleh nenek moyang mereka untuk akses pemukiman sehingga dijadikan sebagai hutan ulayat. Konsekuensinya adalah hutan tersebut tidak boleh dieksploitasi kecuali untuk keperluan pembangunan rumah maupun fasilitas publik.Segala intervensi asing baik itu dari pemerintah maupun swasta jawabannya adalah penolakan.
Penolakan pertama dirasakan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1950 ketika ingin membuat tapal batas antara hutan masyarakat dengan pemerintah Belanda atau yang dikenal dengan BW (Boschwesseen). Kemudian, tahun 1986, pemerintah pusat hendak menguasai hutan yang ada disekitar Nagari Guguak Malalo dengan menjadikan hutan lindung, namun usaha ini kembali mengalami kegagalan.
Pemerintah terus memaksakan kehendaknya dengan jalan musyawarah dengan asumsi bagi hasil hutan. Meskipun begitu masyarakat Nagari Guguak Malalo tetap menolak. Dan yahun 2010 ketika pengerjaan proyek PLTA Singkarak, pemerintah ingin menjadikan hutan Guguak Malalo sebagai hutan lindung. Wacana ini kembali ditentang oleh masyarakat Guguak Malalo.
Konsistensi masyarakat Nagari Guguak Malalo memang patut diacungi jempol. Disaat sebagian masyarakat dan pihak pemerintahannya ingin mendapatkan keuntungan dengan cara pramagtis, maka ditengah-tengah masyarakat Guguak Malalo telah tumbuh idealis bahwa hutan adalah untuk masa depan.
“Mereka memahami bahwa hutan nagari adalah tanah cadangan yang diperuntukkan untuk anak-cucu karena itu membuka dan mengeksploitasi hutan tidak boleh sembarangan,” ujar Nurul Firmansyah, Staff LSM Q-Bar yang melakukan riset di Guguak Malalo selama 6 tahun terakhir.
Menurut Nurul, masyarakat Guguak Malalo telah menyepakati secara lisan tentang ketentuan membuka hutan yakni untuk pertanian, pemukiman baru, dan pemanfaatan hutan secara langsung berupa parak-parak dan ladang.
“Pada awalnya pemerintah nagari memberlakukan Bungo (untuk restribusi nagari terhadap hasil hutan yang diambil) bagi masyarakat yang memanfaatkan hasil hutan untuk keperluan pribadi. Bungo ditetapkan 20% dari hasil komoditi kayu yang diambil dari hutan,” cerita Nurul di Kantor LSM Q-Bar, pertengahan Agustus lalu.
Semakin tingginya kesadaran masyarakat Guguak Malalo akan pentingnya pelestarian hutan dalam upaya pengurangan resiko bencana menyebabkan system Bungo dihapuskan. Sebab yang pasti adalah ketentuan Bungo akan memberi peluang pada setiap warga untuk memanfaatkan hutan tanpa kendali.
“Penghapusan Bungo karena adanya kesadaran akan datangnya bencana ekologis,” timpal Nurul.
Untuk menyediakan kebutuhan warga akan kayu, maka pemerintahan nagari mengizinkan setiap warga untuk mengambil kayu dari hutan adat dengan syarat ada izin dari Wali Nagari. Izinya berupa Surat Keterangan Asal Usul (SKAU).
Sinergi antara pemerintah nagari dengan masyarakat untuk membentengi hutan Guguak Malalo telah terjalin selama enam decade. Kini, hamper semua masyarakat di nagari yang pernah dihantam galodo tersebut ingin menunjukkan kontribusi mereka dalam melindungi warisan nenek moyang mereka tersebut.
Berbagai kelompok masyarakat lahir untuk menunjukkan sumbangsih tersebut. Antara lain, kelompok tani “Ulayat Lestari” dengan jumlah anggota 8 orang melakukan penanaman 5000 pohon gaharu.
Tidak hanya itu, dalam aturan adat diwajibkan kepada penganten baru untuk menanam 5 batang pohon dengan berbagai jenis, seperti pohon kelapa, meranti dan surian di parak perempuan.
Kearifan ini semakin menghijaukan Nagari Guguak Malalo. Dan tentunya, hutan alami nan lestari tersebut akan membentengi Guguak Malalo dari ancaman bencana ekologis.
Gandaria I, 21/08/2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H