Pengalaman live-in di tempat-tempat yang jauh dari kenyamanan hidup tentu sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka-mereka yang pernah/sering live-in. Saya live-in di sebuah tempat kursus pertanian di sebuah kota di Jawa Tengah. Biasa dikenal dengan nama Kursus Pertanian Taman Tani Salatiga atau KPTT. Tapi saya tidak akan menceritakan rutinitas di sana. Pengalaman menarik justru muncul bukan dari bekerja di sana sebagai petani, melainkan pemahaman saya mengenai petani dan latar belakang berdirinya KPTT itu.
Sebelum masuk jauh lebih dalam lagi, KPTT di Salatiga itu membudidayakan tanaman secara organik, tidak ada yang menggunakan bahan kimia sama sekali. Yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa harus organik? Kenapa tidak seperti pertanian lainnya yang juga menggunakan bahan kimia? Toh, hasilnya jauh lebih baik kan?
Ternyata alasan menggunakan pupuk organik sangat kompleks sekali. Kalau kita lihat kenyataan sekarang mengenai kondisi pertanian di Indonesia sangat parah sekali. Beberapa daerah di Indonesia mengalami gagal panen. Bahkan kita, negara Indonesia yang terkenal dengan negara agraris-maritimnya sampai-sampai harus mengimpor beras. Sungguh kenyataan yang sangat pahit bak madu buah mengkudu. Masalah yang dilanda para petani ini tentu saja berdampak pada kelangsungan hidup manusia lainnya. Karena, kalau bukan dari beras, kita mau makan pakai apa? Dan orang-orang zaman sekarang sering latah dengan yang namanya Global Warming. Mereka sering mengatakan bahwa penyebab gagal panen itu disebabkan oleh Global Warming ataupun perubahan iklim.
Sebenarnya global warming atau perubahan iklim itu hanya sebagian kecil atau bahkan mungkin sangat kecil menyebabkan gagal panen. Penyebab sesungguhnya yang lebih mengerikan adalah karena penggunaan bahan-bahan kimia secara berlebihan dan terus menerus.
Hal ini berawal pada masa rezim Orde Baru pemerintahan Presiden Soeharto. Pada saat itu pemerintah mencanangkan program revolusi hijau. Sungguh sebuah program yang memberi pencerahan bagi para kaum petani. Bisa dikatakan pada saat itu program revolusi hijau ini sukses besar dan mendapat apresiasi istimewa dari kaum petani. Namun, sadarkah bahwa sebenarnya bertitik tolak dari peristiwa itu menyebabkan kekacauan pada masa sekarang ini?
Pemerintah menyediakan bibit padi khusus dan pupuk anorganik khusus pula. Bibit padi tertentu hanya cocok dengan pupuk organik tertentu, sehingga hasil panen yang didapat sungguh melimpah. Meskipun mereka harus membeli, tapi hasil panen yang menggiurkan ini membuat para petani rela melakukannya.
Dibalik bibit-bibit dan pupuk-pupuk ini ternyata ada motif lain yaitu demi keuntungan perusahan pembuat benih dan pupuk itu yang notabene adalah pemerintah sendiri. Dengan demikian kembali pemerintah yang diuntungkan, tanpa disadari oleh para khalayak umum.
Kembali mengenai masalah gagal panen, tanpa disadari penggunakan bahan anorganik itu dapat merusak kualitas tanah lahan pertanian. Meskipun hasil panen melimpah tapi tanpa disadari jauh kedepan sebenarnya bencana yang besar sudah menghadang. Sebenarnya unsur yang dibutuhkan oleh tanaman adalah carbon/nitrogen yang di alam bebas ini sudah ada. Bisa berasal dari sisa tanaman itu sendiri atau kotoran hewan. Pupuk anorganik sebenarnya sama, sama-sama mengandung unsur hara tersebut hanya bedanya dalam pupuk anorganik unsur-unsur tersebut di padatkan sehingga bisa disimpan dan tidak membuat orang jijik. Masalah itu muncul dari zat-zat yang membuat unsur tersebut menjadi padat. Saya sebut zat itu semacam lem/perekat yang membuat unsur-unsur itu saling terikat dan memadat. Tentu saja penggunaan pupuk itu sangat mudah, direndam air kemudian disemprotkan/disiramkan pada tanaman. Ketika pupuk itu sudah masuk ke dalam tanah tentu saja tanaman hanya menyerap unsur-unsur yang dibutuhkan saja, dengan demikian perekat itu tetap tertinggal di dalam tanah. Perekat yang tertinggal di dalam tanah ini kemudian mengering dan menyebakan tanah itu mengandung perekat dari pupuk tadi. Akibatnya, inilah yang menyebabkan gagal panen saat ini, tanah-tanah lahan pertanian itu menjadi kering, keras, dan terlihat retak-retak, seperti banyak kejadian-kejadian yang diberitakan di media massa.
Sementara di KPTT, semuanya menggunakan bahan organik sebagai penyokong kelangsungan hidup lahan-lahan pertanian itu. Sudah 67 tahun tanah-tanah itu selalu ditanam dan sampai sekarang masih sangat produktif. Padahal seharusnya tanah itu bisa bertahan 30 tahun saja dan diistirahatkan untuk kemudian dimanfaatkan lagi, namun di KPTT bisa jauh lebih lama dari yang diperkirakan. Mungkin itulah efek dari penggunakan bahan organik. Tentu saja dalam mengusahakan pertanian organik dibutuhkan paling tidak peternakan sapi atau hewan semacamnya yang kotorannya bisa dimanfaatkan. Susah memang, tapi maukah era homosapiens berakhir demikian, gara-gara kesalahan kita sendiri? Ingat! Peribahasa ini masih berlaku: Berakit-rakit kita kehulu, berenang-renang ketepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H