Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan alasan di balik strategi diplomasi total Indonesia untuk membebaskan sandera di bawah kelompok Abu Sayyaf. Kelompok Abu Sayyaf menculik 14 awak kapal Indonesia pada Maret dan April 2016, saat sedang melewati Laut Sulu. Penelitian kualitatif dengan metode eksplanatif digunakan untuk menjelaskan korelasi antar variabel. Penelitian ini menggunakan Liberalisme Saling Ketergantungan sebagai alat analisis, yang menyatakan bahwa aktor transnasional lebih signifikan daripada kekuatan militer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada empat alasan yang mendasari mengapa Pemerintah Indonesia melakukan diplomasi total untuk membebaskan para sandera dari Kelompok Abu Sayyaf. Pertama, Indonesia menjadi mitra dialog MNLF dan Pemerintah Filipina dalam hal perjanjian damai; Kedua, adanya kerjasama perdagangan antara Filipina Selatan dan Indonesia; Ketiga, Indonesia memiliki jaringan global; dan keempat, soft power dipilih/diprioritaskan untuk melindungi para sandera.
Pada Maret dan April 2016, sebanyak dua kali kelompok teroris Abu Sayyaf menculik ABK asal Indonesia untuk dijadikan sandera. Kronologis insiden ini adalah; Pertama, pada tanggal 15 Maret Kapal Brahma dan Kapal Tongkang Anand berlayar membawa 7500 metrik ton lebih batu bara milik PT Antang Gunung Meratus. Tujuan angkutan batu bara ke Pelabuhan Batangas, Luzon, Filipina, saat dibajak kedua kapal dalam perjalanan dari Sungai Putting, Kalimantan Selatan, menuju Batangas, Filipina Selatan. Kelompok Abu Sayyaf menyandeara 10 ABK dan meminta uang tebusan sebesar 50 Juta Peso, sekitar 15 miliar dengan tenggat waktu 8 April 2016 (www.bbc.com, 2016). Kedua pada tanggal 15 April 2016, Kapal Tunda TB Hendry dan Kapal Tongkang Christy kembali dibajak, saat dalam perjalanan dari Kota Cebu, Filipina kembali menuju Tarakan. Posisi kapal ketika dibajak berada sekitar 15 mil dari Tawau, Malasyia. Kapal tersebut berisikan 10 ABK, namun hanya empat ABK yang diculik, enam ABK yang selamat sengaja ditinggal oleh pihak Abu Sayyaf dengan tujuan agar mereka meminta pertolongan. Pada saat itu Kepolisian Maritim Malasyia yang sedang berpatroli memberikan pertolongan kepada mereka (Gabrilin, 2016)
Pada strategi pembebasan sandera, Pemerintah Indonesia menggunakan diplomasi total. Diplomasi ini melibatkan aktor negara dan non negara serta seluruh jaringan formal dan informal mulai dari pemerintah, swasta hingga NGO (Wangke, 2016). Untuk 2 menghindari adanya intimidasi, sebaiknya pembebasan sandera dilakukan dengan negosiasi satu arah, yaitu negosiator yang dapat berkomunikasi dengan para penyandera. Selain itu, keluarga korban, pemilik kapal dan pihak lain dilarang berkomunikasi langsung dengan penyandera (Pujayanti, 2016). Meskipun demikian diplomasi total yang melibatkan semua pihak berhasil membebaskan sandera dalam waktu singkat. Hal ini merupakan contoh keberhasilan suatu negara dalam melindungi warga negaranya yang berada di luar negeri.
Profil Kelompok Abu Sayyaf
Kelompok Abu Sayyaf merupakan salah satu kelompok separatis di wilayah Filipina Selatan. Pada awalnya gerakan ini merupakan pecahan dari kelompok MNLF (Moro National Liberation Font). Gerakan ini sangat berpengaruh dalam memperjuangkan kebebasan Muslim Moro. Beberapa anggota MNLF (Moro National Liberation Font) terpecahlalumenjadibagiandari MILF (Moro Islamic Liberal Font) dan Abu Sayyaf (Atkinson, 2012). Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Abu Sayyaf antara lain; 3 pengeboman, pembajakan dan penculikan warga negara asing untuk uang tebusan (Banlaoi, 2008). Ideologi yang digunakan adalah Jihadis, Salafi dan Wahabi, namun ideologi tidak ada hubungannya dengan aktivitas kelompok teroris yang melakukan penyanderaan. Faktor utama mereka melakukan penculikan adalah ukuran organisasi, kelompok yang semakin besar kebutuhan finansialnya juga semakin besar. Hal ini menjadi alasan utama Abu Sayyaf melakukan penyanderaan, karena dianggap sebagai bisnis yang menguntungkan (Forest, 2012). Kelompok Abu Sayyaf menjadi kelompok-kelompok kecil yang bergerak tanpa arahan, bahkan pimpinannya tidak mengetahui berapa jumlah anggotanya. Pada umumnya kelompok ini menculik warga negara asing, kemudian sandera dijual kepada kelompok yang lebih tinggi pengaruhnya, terutama yang dapat berbicara dengan kedutaan atau orang penting lainnya (Ugarte, 2008). Strategi yang matang diperlukan dalam pembebasan sandera yang berada di luar kedaulatan wilayah negara karena semakin lama sandera ditahan semakin berbahaya bagi nyawa para sandera. Non-state actor Indonesia yaitu; organisasi keagamaan NU (Nahdlatul Ulama) yang menghimbau kepada Nur Misuari, selaku pemimpin di lingkungan kelompok Moro, agar menggunakan pengaruhnya untuk meminta Abu Sayyaf membebaskan para sandera, mengingat hubungan yang terjalin baik antara NU dan kelompok MNLF (www.republika.co.id, 2016)
Penggunaan Diplomasi Total untuk Pembebasan Sandera
Diplomasi total umumnya digunakan untukmempromosikan kepentingan nasional serta meningkatkan citra positif suatu negara, sehingga tergolong kontroversial untuk pembebasan sandera. Negosiasi pembebasan sandera seharusnya dilakukan secara satu arah, untuk menghindari intimidasi dari pihak penyandera. Walaupun melibatkan berbagai pihak, diplomasi total dianggap berhasil karena adanya trust building dari pihak jaringan formal dan informal (Kusuma, 2016). Setiap kasus mempunyai variabel yang berbeda (karakter teroris dan permintaan) sehingga strategi yang seragam tidak bisa digunakan dalam semua insiden penyanderaan. Dilihat dari penerapannya, dapat disimpulkan diplomasi total dapat digunakan untuk meraih kepentingan nasional, namun tidak bisa diterapkan dalam setiap kasus pembebasan sandera.
Alasan Pemerintah Indonesia Menggunakan Diplomasi Total
Alasan Pemerintah Indonesia menggunakan strategi diplomasi total dalam pembebasan sandera, berdasarkan pertimbangan rasional antara lain; Pemerintah Indonesia pernah membantu Pemerintah Filipina dalam melakukan dialog damai dengan MNLF. Indonesia berperan sebagai mediator yang efektif dalam penyelesaian konflik di Filipina Selatan antara Filipina-MNLF (Kementrian Luar Negeri, 2010). Mengingat bantuan yang telah diberikan Indonesia kepada Filipina dalam membantu menyelesaikan konflik, MNLF maupun Pemerintah Filipina berpotensi untuk membantu pembebasan. Pemerintah Filipina dapat memberikan informasi atau melakukan operasi intelijen dalam pembebasan sandera, sedangkan kelompok MNLF dapat memanfaatkan jaringannya, untuk akses komunikasi dengan kelompok Abu Sayyaf (Kusuma, 2016).
OPINI
Pemerintah Indonesia menggunakan soft power, mengutamakan keselamatan para sandera dengan menerapkan diplomasi total. Segala upaya diplomasi yang dilakukan pemerintah Indonesia melibatkan jaringan baik formal maupun informal yaitu; aktor negara, mengadakan pertemuan dengan pemerintah Filipina dan operasi intelijen. LSM telah melakukan dialog dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil, LSM dan organisasi kemanusiaan di wilayah Sulu, Filipina Selatan. Alasan Pemerintah Indonesia menggunakan diplomasi adalah murni berdasarkan pertimbangan yang masuk akal yang diambil dari analisis jenis sandera, situasi dan wilayah, serta negosiator atau jaringannya, Nets dapat membantu penyelamatan. Sandera. Motif pemerintah Indonesia berdasarkan pertimbangan yang wajar dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama, Pemerintah Indonesia telah mendukung Pemerintah Filipina untuk melakukan dialog perdamaian dengan MNLF. Dengan dukungan Indonesia kepada Filipina untuk membantu penyelesaian konflik, MNLF dan pemerintah Filipina kemungkinan akan membantu pembebasan. Kedua, hubungan kerja sama komersial antara masyarakat Filipina selatan dan Indonesia, modernisasi telah meningkatkan derajat dan jangkauan saling ketergantungan bangsa-bangsa. Hubungan kolaboratif dapat dipengaruhi oleh masalah dan tindakan rekan kerja di negara lain. Ketiga, jaringan global yang dimiliki pemerintah Indonesia berpotensi membantu pembebasan para sandera. Globalisasi menciptakan masyarakat sipil global yang berinteraksi dengan masyarakat sipil di negara lain. Keempat, gunakan soft power untuk memastikan keamanan sandera. Aktor transnasional semakin penting dan kekuatan militer menjadi alat yang kurang berguna, sehingga negara lebih tertarik pada politik tingkat rendah (soft power).