Polanya dengan menarik garis panjang dari titik tengah yang dalam bahasa Manggarai disebut lodok hingga ke bidang terluar atau cicing. Filosofinya mengikuti bentuk sarang laba-laba, dimana lodok, bagian yang kecil berada di bagian dalam (tengah) dan keluarnya makin lama semakin berbentuk lebar.
“Kewenangan untuk membagi tanah komunal ada pada Tu’a Teno (ketua adat), awal pembagiannya dilakukan melalui ritual adat Tente atau menancapkan kayu teno di titik episentrum lodok. Saat darah kambing ditumpahkan diatas kayu teno, menandakan pembagian lahan tersebut sudah sah secara adat,” jelas Marius kepada Mongabay Indonesia (19/07). Sawah bentuk lodok, jelasnya hanya satu-satunya di dunia, dan suatu keunikan budaya Manggarai yang perlu terus dijaga.
Gregorius Kabor, seorang warga Cancar menjelaskan, Tu’a Teno atau ketua adat dan Tu’a Golo atau tua kampung umumnya akan mendapatkan bagian luas sawah yang lebih besar. Konon pembagian tanah ulayat mengikuti rumus moso (jari tangan) disesuaikan dengan jumlah penerima tanah warisan dan keturunannya.
Sesuai rumus moso sebutnya, pembagian tanah diprioritaskan bagi petinggi kampung beserta keluarganya, yang lalu diikuti warga biasa dari warga suku, baru setelahnya dari warga luar suku.
“Secara adat warga luar pun bisa memiliki lahan sawah dengan memintanya kepada Tu’a Golo atau tetua kampung. Caranya dengan membawa seekor ayam jantan dan arak atau Kapu Manuk Lele Tuak dan disahkan melalui sidang dewan kampung yang di pimpin Tu’a Golo yang disahkan oleh Tu’a Teno,” ungkap Goris.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H