Sarasehan Selasa Kliwon membahas mengenai keadaan sosial politik di Indonesia. Kala itu Belanda sedang mengalami krisis ekonomi dan militer karena dampak Perang Dunia I dan hal ini dimanfaatkan oleh mereka sebagai momen memerdekakan diri dari kolonial Belanda. Mereka memutar otak untuk mencari dan menemukan cara melawan Belanda, salah satu cara yang ditemui yaitu dengan pergerakan fisik. Setelah ditinjau ulang, pergerakan fisik tidak memungkinkan dilakukan, akhirnya ditemukan cara baru yaitu jalur pendidikan. Tahun 1922 merupakan tahun di mana Pendidikan kebangsaan yang dikenal sebagai "Taman Siswa" berdiri. Ki Hajar Dewantara bertugas untuk memimpin sekolah, sedangkan Ki Ageng Suryomentaram bertugas untuk mendidik orang-orang tua (lansia).
Selain Sarasehan Selasa Kliwon, Ki Ageng Suryomentaram juga tergabung dalam kelompok "Manggala Tiga Belas" yang membicarakan soal perjuangan untuk menjaga tanah air sebagai lahan perang antara Belanda dan Jepang. Ki Ageng mengemukakan bahwa bangsa Indonesia mempunyai tiga pilihan dalam peperangan, pertama, membela Belanda sebagai majikan lama; kedua, menjadikan Jepang majikan baru; ketiga, menjadi majikan sendiri alias merdeka (Muhaji Fikriono, Kawruh Jiwa, 37). Kelompok ini baru melakukan dua kali pertemuan, dan Jepang sudah mendarat di pulau Jawa terlebih dulu untuk mengusir Belanda.
Perjuangan tidak berhenti sampai di situ, Ki Ageng memutar otak untuk mencari cara lain setelah pendidikan yaitu membentuk tentara. Harapan untuk membentuk tentara disampaikan langsung oleh Ki Ageng di depan Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Mas Mansur. Tentara menurutnya dapat dijadikan tulang punggung negara. Menulis dan ceramah menjadi cara Ki Ageng menyampaikan pemikirannya. Ki Ageng menulis tentang "Jimat Perang" yang isinya mengenai strategi perang dan berani mati. Jimat Perang menjadi populer ketika Ki Ageng menyampaikan kepada Soekarno, lalu digelorakan oleh Soekarno melalui radio. Secara singkat, Jimat Perang langsung menyebar ke berbagai kalangan dan mampu menghipnotis setiap orang untuk berani mati demi kemerdekaan.
Menurut Ki Ageng, "Suatu bangsa dan negara menjadi mulia, apabila rakyatnya berani perang atau berani mati perang. Perang berarti mendekati kematian, maka berani perang berarti berani mati. Tidak ada negara dan bangsa yang mulia, kalau rakyatnya takut mati. Oleh karena itu, rasa berani mati atau berani mati perang menjadi dasar negara dan bangsa" (Ki Ageng Suryomentaram, Ajaran-Ajaran Ki Ageng Suryomentaram, Jilid 1, cetakan 1, 163).
Pemikirannya mengenai Jimat Perang harus dapat diimbangi oleh kekuatan seperti tentara. Ki Ageng mencoba untuk mengirim surat permohonan membentuk tentara sukarela ke Gubernur Yogyakarta, Kolonel Yamaguchi, tetapi ditolak. Asano seorang anggota dinas rahasia Jepang dimintai tolong menyampaikan ke pemerintah Jepang untuk mengabulkan permohonan. Surat permohonan tidak serta-merta dibuat, melainkan Ki Ageng membentuk kelompok "Manggala Sembilan", yang beranggotaan Ki Suwarjono, Ki Sakirdanarli, Ki Atmosutijo, Ki Pronowidigdo, Ki Prawirowiworo, Ki Darmosugito, Ki, Asrar, Atmokusumo, dan Ki Ageng Suryomentaram sendiri. Surat yang telah dirumuskan, ditandatangani dengan darah dari masing-masing yang merumuskan. Setelah selesai, surat dikirim kepada Asano tanpa sepengetahuan pemerintah Jepang di Indonesia.
Ki Ageng mendapatkan kabar bahwa permohonan membentuk tentara sukarela disetujui, sehingga membuat pemerintah Jepang di Indonesia tercengang. Izin yang langsung diberikan dari Jepang membuat pemerintah Jepang di Indonesia tidak dapat berkutik sama sekali. Tentara sukarela pun dibentuk dan mulai membuka pendaftaran. Peminatnya yang sangat banyak dan antusias untuk mendaftarkan diri, akhirnya ditarik oleh pemerintah Indonesia dan berganti nama menjadi PETA (Tentara Pembela Tanah Air). Pasca kemerdekaan, PETA memiliki peran penting dalam perjuangan bangsa Indonesia dan namanya diganti menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia).
Masih banyak kontribusi Ki Ageng Suryomentaram lainnya terhadap Indonesia. Pemikirannya mengenai "Jimat Perang" dapat dilihat dari buku-bukunya yang diterjemahkan oleh anaknya Ki Grangsang Suryomentaram dengan beberapa orang lainnya seperti, Ki Oto Suastika, dan Ki Moentoro Atmosentono. Saat ini dapat dikatakan sudah cukup banyak buku untuk mengenal Ki Ageng Suryomentaram. Sampai saat ini, pemikirannya masih sering didiskusikan di kalangan Junggringan Salaka dan semoga semakin dikenal sehingga dapat menjadi refrensi sejarah dan semangat revolusioner bagi para anak muda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H