Membaca banyak buku tentu membuka wawasan manusia terhadap segala sesuatu, khususnya ilmu pengetahuan. Slogan buku adalah jendela dunia, sepertinya memang tepat untuk ditanamkan kepada isi kepala generasi muda. Pasalnya, anak-anak muda kerap kali mencari buku yang mengandung semangat revolusioner. Suatu langkah yang cukup membanggakan ketika banyak anak muda yang mulai peduli dengan betapa pentingnya membaca buku. Perkara buku yang dibaca apa, yang penting baca buku.
Semakin berkembangnya intelegensi manusia, semakin pula berkembangnya peradaban suatu bangsa. Tokoh-tokoh yang membangkitkan semangat anak muda seperti Che Guevara, Lenin, serta masih banyak yang lainnya, dan yang dari dalam negeri seperti Tan Malaka, Soe Hok Gie, dll, turut membanjiri isi kepala anak-anak muda. Literasi-literasi yang memuat Munir, Marsinah, Widji Thukul, dan para tokoh aktivis lainnya selalu laris di pasar buku. Tidak kalah larisnya, Pramoedya Ananta Toer, diburu oleh anak-anak muda dan kerap dilakukan diskusi untuk membahas karya-karyanya.
Berbicara mengenai literasi sejarah dan semangat revolusi Indonesia, tidak lepas dari peran founding fathers Indonesia. Di balik semangat dan perjuangan mereka serta para veteran, terdapat tokoh yang mungkin agak asing terdengar di telinga kita, yaitu Ki Ageng Suryomentaram. Namanya kalah pamor bila disandingkan dengan Munir, Marsinah, Soe Hok Gie, Soekrno, Sutan Syahrir, dan para tokoh lainnya.
Ki Ageng Suryomentaram dan Pergulatan Hidupnya
Ki Ageng Suryomentaram merupakan seorang bangsawan Jawa, tepatnya Yogyakarta. Anak dari Sri Sultan Hamengkubuwana VII dan ibundanya B.R.A (Bendara Raden Ayu) Retnomandoyo, putri dari seorang Patih Danurejo VI. Ki Ageng Suryomentaram lahir pada hari Jumat Kliwon, tanggal 20 Mei 1892 dengan nama kecil Bendara Raden Mas Kudiarmaji, putra ke-55 dari 78 bersaudara. Ki Ageng dapat dikatakan beruntung karena mengalami masa di mana Kraton Ngayogyakarta mencapai kejayaan dengan harta yang bergelimang dari hasil 17 pabrik gula pada kala itu.
Pergulatan hidupnya dapat diacungi jempol dan memiliki kesan sangar. Bayangkan, seorang pangeran yang merasa tidak nyaman di Kraton karena segala hal yang dimilikinya bersifat mengganggu ketentraman hatinya. Si Pangeran mengalami titik di mana ia mulai menyadari kegelisahannya dengan memperhatikan lingkungan sekitar di dalam Kraton yang hanya diisi oleh orang-orang yang disembah, diperintah, dimarahi, dan dimintai.
Setelah mencoba kabur ke Cilacap lalu dijemput oleh ajudan Sri Sultan Hamengkubuwana VII dan kembali tinggal di Kraton. Penyamarannya sangat cemerlang, mampu mengelabui ajudan ayahnya dengan pakaian yang dikenakan hanya kaos oblong, menggunakan sarung yang direndakan di pundaknya, celana pendek, tidak menggunakan alas kaki, dan kepala yang digunduli. Setelah kembali ke Kraton, kegelisahan dialami kembali hingga akhirnya ayahandanya meninggal lalu digantikan oleh kakaknya, Sri Sultan Hamengkubuwana VIII. Terkabullah harapannya untuk menjadi orang biasa, tanpa gelar dan tanpa aturan.
Selama hidup di luar Kraton dan memutuskan untuk tinggal di Salatiga, Ki Ageng berperan sebagai orang biasa, bercocok tanam dan bergaul dengan masyarakat sekitar menjadi rutinitas yang dijalainya. Selain itu, Ki Ageng Suryomentaram mulai menapaki jalannya dan mencari kebahagiaan. Pemikirannya yang kritis dikenal sebagai Kawruh Jiwa (ilmu jiwa) atau Kawruh Begja (ilmu bahagia). Berbagai polemik mengenai rasa manusia seperti senang-susah, rasa bebas, rasa takut, dll, lalu ilmu jiwa Kramadangsa, hingga jimat perang. Pemikirannya tidak bersifat mistis atau tidak masuk dalam kategori ngilmu.
Membentuk PETA
Siapa yang menyangka bahwa Ki Ageng Suryomentaram ialah salah satu sosok di balik kemerdekaan Indonesia? Perannya cukup banyak, antara lain di bidang Pendidikan dan PETA (Pembela Tanah Air). Pasca Perang Dunia 1, Ki Ageng Suryomentaram bersama Ki Hajar Dewantara, Ki Sutopo Wonoboyo, Ki Pronowidigdo, Ki Prawirowiworo, BRM Subono (adik Suryomentaram), Ki Suryodirjo, Ki Sutatmo, dan Ki Suryoputro, melakukan pertemuan setiap malam Selasa Kliwon. Pertemuan itu dikenal dengan nama "Sarasehan Selasa Kliwon".