Pertanyaan menantang yang diajukan Kompasiana pada topik pilihan itu belum terjawab. Bunyi pertanyaan menantang itu adalah "karena banyaknya judi online di media sosial X, setujukah kamu jika diblokir saja?"
Menurut hemat saya secara pribadi, soal blokir memblokir itu sebenarnya pekerjaan yang paling mudah. Namun apakah semudah itu mengakhiri judi online?
Lantas, pertanyaan berikutnya adalah "efektifkan cara seperti ini untuk memerangi judi online?" Selama oknum A, B, dan C masih gemar melakukan judi online, cara blokir memblokir tentu tidak akan menyelesaikan persoalan. Sementara itu judi online  telah sangat meresahkan masyarakat.
Coba lihatlah di masyarakat mulai dari para pengangguran, petani, pemuda, ASN, pejabat, keluarga-keluarga, hingga aparat penegak hukum sekalipun telah terlilit berbagai masalah akibat ikut tersangkut judi online.
Berapa banyak keluarga bubar dan cerai gegara judi online. Bukankah kasus-kasus kriminal akibat judi online semakin marak? Â Kasus yang paling akhir, Polwan bakar suami, dan termasuk pembunuhan terhadap ibu kandung.
Seperti dirilis metro.tempo.co Selasa, 25 Juni 2024, Â gara-gara terjerat judi online, seorang pria di Sambas, Kalimantan Barat nekat membunuh pegawai Koperasi Simpan Pinjam.
Bahkan Tempo telah merangkum sedikitnya 10 tindakan kriminal akibat judi online dalam lima tahun terakhir sejak 2020 hingga 2024.Â
Namun sebetulnya yang menjadi tujuan penulis menuliskan artikel ini adalah untuk mengajak semua elemen masyarakat di bawah pimpinan pemerintah pusat untuk melakukan berbagai tindakan untuk mengedukasi masyarakat agar tidak terjerat lagi pada judi online.
Bagaimanakah caranya untuk mengedukasi masyarakat itu?
Hemat penulis, ada sekurang-kurangnya tiga (3) langkah strategis dan jitu yang bisa dilakukan agar menyetopkan judi online, bahkan judi offline dari muka bumi ini.