Dalam diskusi saya dengan  Pastor Vincentius Wun SVD, beliau mengharapkan agar panti jompo dilengkapi juga dengan sarana-sarana pengembangan bakat dan minat para jompo. Biarkan para jompo dengan kreativitasnya. Asal mereka diawasi agar tidak melampaui usia mereka. Sebab terkadang mereka (para jompo) tidak menyadari atau menerima diri bahwa mereka sudah tua. Mereka berpikir seperti ketika mereka masih muda dan kuat.
Para  imam jompo bukanlah anak-anak kecil yang harus diatur meluluh. Cara penanganan mereka hendaknya disesuaikan dengan usia, kesehatan dan keadaan fisik. Kalau seorang imam lansia masuk rumah jompo karena sakit misalnya, maka perlakuannya berbeda dengan imam lansia yang masuk rumah jompo hanya karena memang usianya harus masuk rumah jompo. Sementara itu ia masih terlihat aktif.Â
Tenaga pendamping yang muda dan kreatif
Menurut pastor Vincent Wun, terhadap para imam lansia yang terlihat masih aktif, baiklah mereka didampingi untuk melakukan aktivitas mereka sesuai bakatnya namun secara terbatas.Â
Karena itu baiklah kalau di panti jompo itu disiapkan tenaga-tenaga selain kesehatan ada juga pendamping lansia yang berpengalaman sehingga mereka sungguh menjadi teman bermain dan bekerja.Â
Panti Jompo sebagai tempat 'transit' bukan 'gudang'
Panti jompo bukanlah gudang  yang siap menampung 'barang-barang rongsokan'.  Orang-orang sehat dan muda yang mendampingi para jompo harus menyadari bahwa para jompo adalah orang-orang hebat pada masanya yang sekarang perlu beristirahat untuk mempersiapkan kematiannya dengan tenang.
Panti jompo hendaknya dikembangkan sebagai tempat transit. Artinya apa, artinya seorang jompo hanya singgah sementara waktu di situ dan selanjutnya akan meneruskan perjalanan. Karena waktunya singkat, maka ia perlu mendapatkan perhatian dan pelayanan yang ekstra.
Karena perhatian dan pelayanan yang ekstra itu maka menarik bagi seorang imam lansia untuk masuk panti jompo. Nah, inilah yang harus dikembangkan pada panti jompo kita. Sebab memang panti jompo bukanlah budaya kita.
Panti jompo adalah sebuah konsep baru di luar budaya Timur. Para pengelola panti jompo hendaknya menyadari bahwa butuh waktu supaya orang bisa menerima diri bahwa suatu saat dia harus masuk panti jompo.
Hal ini tentu berbeda dengan keluarga-keluarga 'awam' yang masih tetap menjaga dan meneruskan budaya Timur di mana orang tuanya tidak bisa dititipkan ke rumah jompo karena takut dianggap anak durhaka.
Karena itu para imam lansia memang harus masuk panti jompo, mereka tidak bisa kembali lagi ke keluarga. Sebab di sana siapa yang harus bertanggungjawab untuk menjaga dan merawat mereka?Â
Bahkan kita harus berpikir maju ke depan. Saat ini di rumah-rumah keluarga, banyak orang tua tinggal sendirian tanpa anak. Kalau suatu saat mereka sakit dan tidak ada yang mengurus mereka, lalu bagaimana? Tetapi yang jadi soal, apakah masuk panti jompo tidak membutuhkan biaya? Lalu siapa yang harus menanggung biaya itu? Sementara kita belum berpikir tentang simpanan untuk masa jompo!