"Setetes air, jika bisa menuliskan sejarahnya sendiri, akan menjelaskan alam semesta kepada kita."Â (Lucy Larcom)
Latar Belakang Sejarah Sumber Mata Air Oe Luan
Masa kecilku dulu merupakan masa yang paling menyenangkan. Setiap hari Minggu atau hari libur merupakan kesempatan yang indah bagi kami untuk menikmati sejuknya air pancuran di sumber mata air Oe Luan.
Sudah tentu kami mandi sepuas-puasnya sebab airnya jernih, sejuk dan menyenangkan. Sebagai anak-anak kecil yang polos, kami pergi dan pulang berjalan kami, sambil memetik dan menikmati buah jambu yang segar di sepanjang jalan itu.
Sumber mata air Oeluan adalah mata air yang berhulu di hutan milik rakyat  Desa Bijeli yang kini telah menjadi hutan lindung. Kata Oe Luan sendiri merupakan bahasa Atoni Pah Meto atau yang biasa dikenal dengan "Dawan", dari dua kata yakni OE dan LUAN.
Kata OE artinya air, Â dan LUAN merupakan nama seseorang yang menjadi pemilik sumber air itu, atau didedikasikan untuk seorang nenek yang tinggal di dekat mata air yang tidak pernah kering itu.Â
Dari namanya sudah dapat dipastikan bahwa ia bukanlah penduduk asli orang Noemuti. Nenek Luan itu adalah seorang pendatang yang berasal dari Belu atau Malaka. Orang Belu atau Malaka biasanya menyebutnya "BEI LUAN".
Orang Noemuti memiliki tradisi penghormatan yang lebih terhadap pendatang atau tamu. Karena itulah 'Bei Luan' lebih dikenal, daripada suaminya yang mungkin berasal dari suku pemilik sumber air itu yakni "Radriques dan Fernandez ".
Air untuk Pertanian
Keberadaan sumber mata air "Oe Luan" itu sangat mendukung  tumbuh suburnya pepohonan besar di sekitarnya hingga kemudian menjadi sumber mata air yang besar.Â
Beruntung juga bahwa sumber air Oe Luan berada di ketinggian di lereng bukit yang disebut "Baki Sonbay" sehingga dengan mudah dialirkan ke bawahnya yang rata sebagai areal persawahan masyarakat.
Dari sumber mata air inilah, kemudian masyarakat di Desa Bijeli dan Desa Nifuboke memanfaatkannya untuk irigasi pertanian secara tradisional. Â Sumber mata air Oe Luan yang berada di hulu dimanfaatkan untuk urusan pertanian, khususnya pada areal persawahan yang ada di kaki bukit atau tanah rata yang bernama "Kustanis" di sebelah kiri jalan, dan "Aen Ma'u" yang berada di sebelah kanan jalan, yaitu sekitar 200 hektar sawah.