Apa yang terjadi dalam acara Ritual Tfua Ton itu?
Pada ritual tahunan 'tfua ton' yang dilakukan masyarakat pesawah Pineur di Desa Maurisu, Kecamatan Bikomi Selatan, baru-baru ini sebenarnya adalah pesta syukur sekaligus memohon kepada penguasa tanah Bikomi yang dikenal dengan sebutan 'Uis Pah Bikomi' yang menurut tutur adat berbahasa Dawan (Uab Meto) disebut Uis Neno A Pinat A Klahat, A Mo'et A Pakaet, artinya Tuhan Allah yang Menyala dan Membara (Maha Besar), Maha Pencipta dan Penyelenggara.
Kalau demikian, mengapa justru praktek ini dilarang pada beberapa dekade lalu karena dianggap bertentangan dengan praktek iman dalam Gereja Katolik? Pada hal tujuan akhirnya adalah kepada Tuhan Allah sebagai Pencipta dan Penyelenggara Kehidupan.
Setelah ditelusuri oleh para Antropolog-Teolog Katolik di antaranya seorang Uskup Katolik, Mgr. Anton Pain Ratu SVD (93 tahun), kini Uskup Emeritus Keuskupan Atambua, dalam buku 'Menuju Gereja Umat Pastoral Akar Rumput' (1997) dengan penyunting Anton Bele mengatakan bahwa tujuan tidak boleh menghalalkan cara. Bahwa benar tujuannya adalah syukur dan bakti kepada Tuhan sebagai Maha Pencipta dan Penyelenggara. Namun yang dipersoalkan adalah pertama, ritual atau ritus yang dipraktekkan dan kedua, adalah rumusan doa yang dipanjatkan.
Mgr. Anton Pain Ratu SVD dalam setiap kegiatan khalwat 3 Ber yang menjadi primadona pastoralnya selama lebih kurang 25 tahun sebagai Uskup Atambua, berusaha untuk menyelaraskan ritual adat tersebut sehingga tidak menjadi praktek penyembahan berhala melalui ritual  'talolip na' dan tkani' mnes  (meneteskan darah dan membuang beras) yang biasa dibuat oleh orang-orang yang belum beragama.Â
Tetapi ketika semua orang Timor sudah beragama, khususnya Katolik, maka praktek atau ritual ini harus diperbaharui. Bagaimana caranya? Dalam Teologi Katolik, hanya imam-lah yang merupakan -Alter Christus- mempersembahkan kurban di atas altar untuk menyucikan manusia dari dosa. Karena itu dalam kegiatan 'tfua ton' yang melibatkan umat Katolik, maka Imam Katolik harus diundang untuk hadir dan memberkati hewan-hewan yang akan disembelih sebagai kurban syukur itu, sekaligus dapat merayakan Ekaristi sebagai sumber dan puncak kehidupan kristiani.
Demikian pun doa-doa dalam ritus itu harus dirumuskan sesuai dengan ajaran iman kristiani. Artinya kalau yang menyelenggarakan acara tfua ton itu adalah umat Katolik, maka rumusan doa-doanya tidak boleh bertentangan dengan rumusan-rumusan iman kristiani. Dan pemimpin doa atau ritualnya pun kalau bukan guru agama, sekurang-kurangnya adalah orang Katolik.
Praktek Tfua Ton ke depan
Diharapkan praktek budaya ini terus dihidupkan ke depan. Hendaknya melibatkan banyak orang dan mewajibkan semua pesawah sebagai kesempatan ucapan syukur dan permohonan atau doa bersama. Kegiatan ini bukan semata-mata kegiatan 'doa-adat' tetapi kesempatan untuk membangun suasana kebersamaan dan kekeluargaan di antara para pesawah. Bisa juga kesemapatan ini dipergunakan untuk melakukan evaluasi bersama atas pengelolaan sawah, irigasi, dan keterlibatan masyarakat lainnya dalam urusan pertanian. Ada banyak hal dapat dicapai melalui praktek 'tfua ton' ini karena melibatkan juga pihak pemerintah, adat dan agama. Demikianlah ulasan kami, moga-moga berguna bagi pembaca sekalian. Terima kasih. Uis Neno Nokit Piut. ***
Atambua, 24.07.22
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI