Mohon tunggu...
Yosef MLHello
Yosef MLHello Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Bapak Keluarga yang setia. Tinggal di Atambua, perbatasan RI-RDTL

Menulis adalah upaya untuk meninggalkan jejak. Tanpa menulis kita kehilangan jejak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tekes atau Sesajen dalam Tradisi Atoin Meto di Timor

17 Juli 2022   21:30 Diperbarui: 17 Juli 2022   21:53 981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi praktek tekes dan tae lilo pada Atoin Meto di Timor (Sumber foto: diolah dari satukatolik.com)

Atoin Pah Meto atau biasa disebut saja Atoin Meto merupakan suku terbesar penghuni pulau Timor. Pulau Timor disebutnya Pah Meto atau Tanah Kering. Mungkin karena memang pulau Timor kering atau gersang.

Pah Meto atau Pulau Timor menyimpan banyak kisah dan praktek hidup yang menarik. Mulai dari pulaunya hingga manusia dan semua yang ada di atasnya memiliki suatu keunikan.

Sebut saja banyak praktek budaya yang sering kali mungkin tidak terdapat pada pulau atau daerah lain.

Kali ini, penulis ingin mengangkat sebuah praktek budaya yang disebut "tekes" atau sesajen atau persembahan dalam bentuk makanan kepada leluhur.

Mengapa penulis mengangkat praktek budaya ini? Karena sesuai kebiasaan atau tradisi setempat, biasanya pada bulan Juli seperti saat ini di mana-mana, khususnya di wilayah Kerajaan Bikomi yang dikuasai oleh usif atau raja yang dikenal dengan sebutan mone ha atau empat putera (penguasa) yaitu Ato - Bana, Lake - Sanak, terjadi apa yang dinamakan "Tfua Ton" atau "upacara adat tahunan".

Proses Tfua Ton

Yohanes Sanak dalam bukunya Kerajaan Bikomi dan Budaya Puah Manus dalam Relasi Kuasa Usif-Amaf, mengemukakan bahwa angka tujuh (hitu) yang melekat pada pedang usif Bikomi tap mese nes hitu (satu sarung bermata tujuh) kemudian menjadi dasar rujukan dalam pelaksanaan berbagai ritus dalam budaya Atoin Meto.

Biasanya dalam berbagai upacara adat, ada tonis atau laes tone (penyampaian doa), di mana pemimpin doa menengadah ke langit sambil mengangkat kasu'i (sejenis piring terbuat dari anyaman lontar) berisi beras, benda-benda pusaka dan sejumlah uang kertas yang dikumpulkan dari suku-suku peserta upacara itu yang dihunjukkan sebanyak tujuh kali. Uang kertas dalam adat disebut sebagai alas kaki  hewan kurban sebagai bentuk penghormatan terhadap para leluhur.

Setelah menghunjukkan sebanyak tujuh kali, pemimpin ritual akan mengambil atau menjumput beberapa butir beras lalu melemparkannya ke atas batu lempeng atau faot le'u tempat bahan persembahan yang di tempatkan di bawah tiang induk yang disebut haumonef. Tujuan persembahan itu kepada uis pah atau penguasa bumi.

Biasanya doa diawali dengan persembahan hewan kurban di mana bulu hewan kurban itu diambil dari bagian tengkuknya beberapa helai, lalu diletakkan pada faot le'u atau batu lempeng persembahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun