Saya mulai mendengar dan mengenal nama Prof. Dr. H. Achmad Syafi'i Maarif, ketika berada di Kota Yogyakarta tahun 2003-2005. Banyak cerita saya peroleh tentang beliau ketika mulai menggeluti mata kuliah Islamologi. Sejak saat itu, saya mulai tertarik dengan ketokohannya. Apalagi setiap kali ketika terjadi gonjang-ganjing soal agama, beliau sudah pasti jadi tokoh yang diwawancarai atau ditanyakan pandangannya.
Tokoh Nasionalis kelahirahan Minangkabau, Sumatera Barat ini, menurut yang saya tahu, memang ia pantas dipanggil "Buya" karena kehadiran dan pandangannya selalu mengedepankan ke-Indonesia-an.Â
Selain itu, beliau (sekali lagi, menurut saya) adalah Tokoh yang konsisten untuk tidak mencampuradukakan soal agama dengan politik atau negara. Tak pernah terdengar bahwa Buya Syafii Maarif memberikan pandangannya yang kontroversial mengenai Indonesia. Hal ini tentu sangat berbeda dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya.
Saya masih ingat pada tahun 2016, ketika Indonesia sangat heboh dengan persoalan yang dihadapi oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang menjadi tersangka penistaan agama, Buya Syafii Maarif merupakan Tokoh Islam yang selalu berada di pihak Ahok. Ia harus seolah-olah berjuang berhadapan dengan demonstasi yang berjilid-jilid itu. Tapi itu semata-mata karena perjuangan humanismenya.Â
Beliau menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1998-2005. Selain sebagai Tokoh Muhammadiyah, Buya Maarif juga adalah seorang Tokoh Pendidikan. Karena itulah ia mendirikan Maarif Institute, sebuah lembaga advokasi dan pendidikan. Walau pun sebagai seorang Tokoh Nasional, beliau tetap hidup dalam kesederhanaan. Justru karena Ketokohan dan Kesederhaan itulah, ia tetap dihargai sebagai Guru bangsa.
Dari berbagai sumber, kita dapat mengetahui berbagai jabatan yang pernah dan sedang dijabat oleh almarhum Buya Syafii. Beliau adalah Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila  bersama  Ibu Megawati Soekarnoputri.Â
Buya Syafii Maarif adalah Sosok negarawan dan cendekiawan lintas agama, seorang tokoh yang menjadi kekuatan bangsa karena memiliki etika hidup dan keteladanan moral dan agama.
Sebagai seorang yang non muslim dan bukan tinggal di Jawa, saya merasa kehilangan bersama seluruh masyarakat Indonesia. Pandangan beliau yang tidak membeda-bedakan suku, agama dan ras sangat patut dihargai dan diteladani, terutama ia tidak mau mencampuradukan agama dengan politik.Â
Karena itu ia tidak mau terlibat dalam Partai Politik, ia lebih memilih menjalankan tugas sebagai Dosen, aktif menulis dan menuangkan pikiran-pikirannya dalam bentuk buku. Dengan demikian, ketokohannya sungguh-sungguh tidak dicemari dengan urusan politik yang kadang-kadang mengaburkan ketokohan sang tokoh.
Sekali lagi, kabar tentang wafatnya Buya Syafii Maarif tentu menjadi duka nestapa seluruh bangsa. Karena itu kita berharap masih ada banyak Syafii Maarif yang lain yang bisa mengayomi seluruh bangsa Indonesia dengan etika hidup dan keteladanannya sebagai Tokoh Nasional Indonesia.Â