Pemerintah Indonesia per-1 April 2022 mulai memberlakukan tarif PPN 11 persen, yang dulunya 10 persen. Kenaikan tarif PPN ini berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang mana tariff PPN sesuai UU HPP itu menjadi 11 persen pada 1 April 2022.
Apa yang terbayang dibenak kita kalau PPN menjadi 11 persen? Sudah pasti harga-harga barang semakin mahal  sehingga mengakibatkan pengeluaran, baik perorangan maupun keluarga akan  membengkak.Â
Tapi rasa-rasanya, kita tidak bisa mengelak dari keadaan ini. Karena menurut Menteri Keuangan kita, Sri Mulyani Indrawati, kenaikan  1 % dari PPN yang semula 10% ini masih berada di bawah rata-rata PPN dunia.
"Kalau rata-rata PPN di seluruh dunia itu  ada di 15%. Sementara Indonesia ada di 10 %. Maka kita naikkan menjadi 11 % per- April 2022 dan nanti akan menjadi 12 %  per-Januari 2025", kata Menteri Keuangan sebagaimana dilansir dalam situs resmi Sekretariat Kabinet (Kompas.com).
Dengan kenaikan ini diperkirakan harga-harga kebutuhan akan ikut naik. Sebab berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Â Tahun 2009, ada sejumlah barang-barang yang dipungut PPN. Barang-barang itu adalah:
- Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
- Impor Barang Kena Pajak;
- Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
- Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
- Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
- Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.
- Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
- Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Inilah daftar barang yang berpotensi untuk naik harga sebagai akibat dari kenaikan tarif PPN per- 1 April 2022. Â Sementara itu, dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 ada barang dan jasa yang tidak akan kena imbas kenaikan PPN 11 % yaitu:
- Makanan  dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya.
- Uang, emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa Negara dan surat berharga;
- Jasa kesenian dan hiburan
- Jasa Perhotelan;
- Jasa yang disediakan pemerintah
- Jasa penyediaan tempat parker
- Jasa boga atau catering.
Sedangkan barang-barang dan jasa yang tidak disebutkan pada kedua Undang-Undang tersebut berpotensi terpengaruh oleh kenaikan tariff PPN 11%.
Terhadap kenaikan tarif ini, mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus menyesuaikan saja dengan keadaan. Â Sebagaimana dikatakan Menteri Keuangan bahwa kita memahami jika saat ini perhatian masyarakat dan dunia usaha masih focus pada pemulihan ekonomi.Â
Tetapi, hal ini tidak menghalangi pemerintah untuk mulai berusaha membangun suatu fondasi perpajakan yang kuat. Terlebih selama masa pandemi, APBN kita  menjadi instrument yang bekerja luar biasa sehingga perlu untuk segera disehatkan.
Di tengah kemelut dan persoalan yang menimpa kita akibat pandemi yang meluas meliputi berbagai sektor kehidupan, kita harus sependapat dengan apa yang dikatakan Ibu Sri Mulyani ini, bahwa pajak merupakan gotong royong dari sisi ekonomi Indonesia, terutama dari anggota masyarakat yang relatif mampu. Sebab, pajak yang akan dikumpulkan itu akan dipergunakan kembali kepada kepentingan masyarakat atau rakyat banyak.
Lantas, bagaimana seharusnya kita menyiasati supaya pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan hidup tetap terjaga? Beberapa tips perlu dipraktekan guna menekan pengeluaran yang tidak perlu, yakni:
Pertama, Tentu saja kita tetap menjaga agar jangan sampai besar pasak daripada tiang. Itulah nasehat ekonomi yang paling tepat berhadapan dengan aneka kenaikan harga barang dan jasa tersebut.
Kedua, Hidup hemat.
Hidup hemat merupakan pengalaman dari sila kelima Pancasila.
Ketiga, Mengembangkan sikap solidaritas dan subsidiaritas.
Dalam perpajakan berlaku prinsip 'yang kuat menanggung yang lemah'. Artinya masyarakat yang relatif mampu seperti para pengusaha dan wajib pajak lainnya harus bisa membayar pajak tepat waktu dan tepat jumlah, supaya membantu masyarakat yang kurang mampu. Itulah prinsip solidaritas dan subsidiaritas.
Keempat, Belanja Pintar.
Solusi praktis belanja rutin terhadap barang-barang atau produk kebutuhan sehari-hari, dengan berusaha memanfaatkan discount yang ditawarkan.Â
Selain itu, belanjalah barang yang paling dibutuhkan lebih dahulu. Belanja bukan menjelang hari raya di mana kebutuhan makin meningkat sehingga harga pun makin mahal.
Sebagai Warga Negara yang baik kita perlu patuh pada aturan, supaya pada saatnya aturan memanusiakan kita. Sebagaimana kita ketahui bahwa hasil akhir dari pajak yang kita kumpulkan, semuanya akan dimanfaatkan untuk pembangunan bangsa.Â
Sebab, kita jelas membutuhkan pendidikan yang makin baik dan bermutu. Kesehatan yang makin baik. Juga kita membutuhkan TNI yang makin kuat dan Polisi yang makin hebat, supaya kepastian hukum kita makin bagus, serta keamanan kita yang makin baik pula. Itu semua hanya akan bisa dikerjakan dan kita capai, dan kita bangun setahap demi setahap, apabila fondasi pajak kita kuat!
Atambua, 31.03.2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H