Apakah anda pernah menyaksikan seorang guru menangis di depan kelas karena ulah murid-muridnya? Penulis punya pengalaman itu.
Waktu itu kami di PGA (Pendidikan Guru Agama) kelas II atau sekarang kelas XI.
Ibu Guru kami sampai menangis gara-gara seorang teman membuat gaduh di dalam kelas.
Ketika ibu Guru menyuruh teman yang membuat gaduh itu meninggalkan kelas, malah ia semakin berulah.
Hal itulah yang menyebabkan ibu guruku sampai menitikkan air mata. Itu pengalaman pertama.
Ada juga pengalaman lain. Tapi ini pengalaman yang sungguh unik. Ibu guru menangis gara-gara seorang anak didiknya ulang kelas.
Itulah guru. Ia selalu menghendaki agar anak didiknya terbaik: Â menjadi pintar, naik kelas, lulus ujian, mendapat pekerjaan dan sukses.
Guru yang baik selalu menginginkan agar anak didiknya sukses. Bahkan ia sampai harus menitikkan air mata, bila anak didiknya gagal. Meskipun ia pernah disakiti oleh anak didiknya.
Banyak guru yang mungkin tidak menangis, dalam arti mencucurkan air mata, tetapi mereka menangis dalam hati. Sekali lagi ketika penentuan kenaikan kelas.
Ketika ada siswa yang harus divonis ulang kelas. Ketika penerimaan amplop ujian akhir nasional. Bila ada siswa yang tidak lulus. Maaf bukan tidak tuntas seperti yang dianut kurikulum sekarang ini. Tidak lulus maksudnya ia tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Artinya dia harus mengulang. Bukan sekedar remedial.