Tahun 1988, penulis mendapatkan beasiswa dari Keuskupan Atambua untuk studi di STKIP Santo Paulus Ruteng-Flores. Sekarang kampus STKIP telah meningkat statusnya menjadi Universitas Katolik Indonesia Santo Paulus Ruteng. Dari Timor penulis menuju Flores. Sebagai anak  kampung dari pelosok  Pulau Timor, penulis bisa menikmati naik pesawat terbang Merpati 'pertama' dari Bandara El Tari Kupang menuju Bandara Satar Tacik Ruteng, pada 11 Agustus 1988. Betapa senangnya hati ini, karena selain dapat beasiswa untuk studi ditambah lagi dengan biaya pesawat terbang. Penulis masih ingat betul harga tiketnya sebesar Rp 65.000 (Enampuluh Lima Ribu Rupiah) Kupang - Ruteng.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan sekedar sharing pengalaman kuliah di STKIP Santo Paulus Ruteng 1988-1991. Waktu itu STKIP baru memiliki program Diploma Tiga (D3) Kateketik. Mahasiswa berasal dari seluruh Indonesia. Umumnya mereka datang sebagai mahasiswa tugas belajar. Kampus STKIP Ruteng dikenal sebagai 'Kampus Hijau' karena memiliki taman dan lapangan yang hijau karena ditanami dengan rumput Pancasila yang hijau dan menarik.
Menariknya kampus ini karena semua mahasiswanya di asramakan. Memiliki aturan hidup yang cukup ketat. Menariknya, setiap mahasiswa mendapatkan satu kamar tidur dengan fasilitas lengkap, terdiri dari 1 tempat tidur, lemari pakaian, meja dan kursi belajar, rak buku dan gantungan pakaian. Selain itu, dilarang memasukkan barang baru ke dalam kamar. Jam belajar di kampus  dari pkl. 7.30 pagi sampai pkl.13.00. Sesudah jam kampus dilanjutkan dengan asrama. Kebetulan satu komplek. Pendidikan di asrama mewarnai seluruh kehidupan kami hingga saat ini. Terima kasih almamaterku.
Mendapatkan Beasiswa Supersemar
Bulan Juni 1990, penulis mendapatkan pemberitahuan dari Sekretariat STKIP Santo Paulus Ruteng bahwa penulis mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Indonesia. Senang sekali rasanya. Beasiswa prestasi dari Yayasan Supersemar Indonesia yang kalau penulis tidak keliru ketuanya adalah Ibu Tien Soeharto.Â
Yayasan Supersemar bertujuan membantu dunia pendidikan di Indonesia dengan bantuan pemberian beasiswa kepada para mahasiswa berprestasi. Setiap penerima wajib melengkapi semua dokumen yang diprasyaratkan. Sebelum menerima uang beasiswa sebesar Rp 800.000 waktu itu, para calon penerima diberi penataran P4 terlebih dahulu, sebuah prasyarat yang wajib.
Setiap penerima beasiswa mendapatkan buku keanggotaan beasiswa Supersemar Indonesia. Setiap mahasiswa yang mendapatkan beasiswa Supersemar berkewajiban untuk mentaati beberapa aturan yang diberikan oleh pihak Yayasan Supersemar. Penulis lupa berapa jumlah penerima beasiswa Supersemar dari STKIP Ruteng waktu itu.
Berapa pun jumlah uang yang diterima tidak menjadi soal. Tetapi yang terpenting bahwa penulis bersama teman-teman yang telah mendapatkan bantuan berupa beasiswa Supersemar itu patut disyukuri. Bayangkan saja dari sekian banyak mahasiswa di seluruh Indonesia, kita terpilih menjadi salah satu penerima. Bahkan tercatat dalam dokumen Yayasan Supersemar Indonesia.
Karena itu penulis menyampaikan terima kasih kepada Ketua STKIP Santo Paulus Ruteng kala itu Pastor Marselinus Agot, SVD Lic. dan semua pihak di Sekretariat yang telah membantu hingga penulis ikut menikmati 'roti' pembangunan pendidikan Indonesia zaman itu sehingga kini boleh menjadi penulis Kompasioner. Itu berarti bantuan beasiswa Supersemar juga ikut andil dalam pendidikan penulis. Terima kasih kepada Yayasan Supersemar Indonesia.
Atambua, 24 November 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H