Mohon tunggu...
Yosef MLHello
Yosef MLHello Mohon Tunggu... Dosen - Bapak Keluarga yang setia. Tinggal di Atambua, perbatasan RI-RDTL

Menulis adalah upaya untuk meninggalkan jejak. Tanpa menulis kita kehilangan jejak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Remah-Remah Kehidupan (19)

3 November 2021   20:07 Diperbarui: 3 November 2021   21:14 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

GURU KOLAN HENDAK KETEMU USKUP

 KISAH 

 Namanya Guru Kolan, seorang tokoh pendidik. Ia lebih dikenal di antara keluarganya, terutama para menantunya dengan sebutan 'Bapak Ce-ef'. Tokoh yang satu ini mempunyai keunikan tersendiri. Berdiskusi dengannya kita tak pernah akan kehabisan bahan, karena kalau toh kita tak punya bahan lagi, bahannya justru bertambah-tambah.

 Pada suatu ketika, pak Kolan hendak bertamu ke istana keuskupan. Sebelum pergi, ia telah menyiapkan catatannya yang akan disampaikan kepada Yang Mulia Bapak Uskup. Maka pagi-pagi benar ia bergegas meninggalkan rumah menantunya untuk bertemu Bapak Uskup di istananya. Mula-mula ia berjumpa dengan sekretaris Uskup yang namanya Pastor Herry, itu keyakinannya.

Setelah menjumpai Pastor Herry, ia menunjukkan surat yang ditulisnya dengan tangannya sendiri, berisi kira-kira sepuluh halaman. Surat itu telah diisinya dalam sebuah amplop putih yang tebal. Tapi karena rasa hormat dan memang begitulah tugas seorang sekretaris Uskup untuk memeriksa setiap surat yang masuk -- begitulah keyakinan Guru Kolan -- maka ia pun membuka amplopnya di hadapan sekretaris dan menunjukkan isi surat itu kepadanya.

Pastor Herry terperanjat, begitu membuka amplop surat tersebut. Ia mendapati banyak sekali tulisan dan informasi yang hendak disampaikan kepada Yang Mulia Bapak Uskup. Sebagai Guru Sejarah, Kolan mengisahkan banyak ikhwal sejarah yang berhubungan dengan perjalanan gereja di tanah Timor. Pastor Herry manggut-manggut. 

Persoalan kedua yang dimunculkan dalam surat tersebut adalah masalah sengketa tanah antara beliau dengan orang sekampungnya di Kaubele. Dan persoalan ketiga yang  ditulisnya dengan tinta warna biru (mungkin karena tinta warna hitam telah habis?) ialah relasinya dengan tetangga-tetangganya yang kurang beriman atau yang disebutnya 'kafir'. Guru Kolan meminta Yang Mulia Bapak Uskup untuk membantu menyelesaikan persoalan-persoalan yang sedang dihadapinya ini.

Dan yang sangat menarik dalam surat tulisan tangan sang guru ini adalah bahwa semua bagian kertas itu ditulisinya. Tiada satu bagian pun yang dibiarkannya kosong. Maka setelah membaca seluruh isi surat Guru Cornelis itu, Pastor Herry pun bingung, namun tetaplah ia mempersilahkan beliau untuk bertemu Yang Mulia Bapak Uskup di istananya. 

Tapi sayang sebelum sampai ke pintu ruang Bapak Uskup, Guru Cornelis sudah dicegat oleh Satpam yang sudah lama menunggu di Kantor Puspas. Guru Cornelis pun tak sempat bertemu dengan Bapak Uskup. Maka sesudah mengakhiri perjalanannya hari itu, ia pun kembali ke rumahnya dan menunggu waktu yang baik untuk bertemu Bapak Uskup. Hehehe....

PESAN UNTUK HIDUP

 1.  Hidup adalah sebuah kerinduan akan perjumpaan: perjumpaan dengan sesama, dengan alam ciptaan dan dengan Yang Ilahi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun