Mohon tunggu...
Yosea Permana
Yosea Permana Mohon Tunggu... Seniman - pegawai swasta

Gemar melukis, menggambar dan fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menuju Terresa House #IndiaTravelJournal Part 5

1 Oktober 2015   00:31 Diperbarui: 29 Maret 2016   22:40 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Patung Mother Terresa"]

[/caption]
Waktu itu aku berada di depan sebuah taman kota yang cukup besar di Kolkata, Eliot Park. Taman yang sangat layak untuk di kunjungi, namun hari itu pukul 12 siang, matahari sedang galak-galaknya menyeringai di atas ubun-ubun setiap orang, rasanya cukup konyol apabila aku merelakan diri kepadanya kala itu. 

Aku baru saja turun dari bus yang membawaku dari arah Gariahat rd. Tujan ku berhenti di depan taman ini adalah untuk menuju Mother Terresa House dengan berjalan kaki melalui Park Street yang berada tepat di seberang taman. Park street sendiri merupakan pusat dari kota Kolkata.

Aku menyebrang jalan bersamaan dengan orang-orang lokal yang tak satupun aku kenal. Aku berusaha berada disisi kiri atau kanan mereka guna berlindung dan mengikuti arah perpindahan mereka yang sudah sangat cekatan untuk menyebrang dalam kericuhan jalan yang sangat sibuk dan bising dengan bunyi klakson ini. 

Bicara tentang klakson khususnya di kota-kota besar di India, sangat sulit rasanya bagi kita untuk bisa menghindar dari bunyi klakson walau sedetikpun. Semua kendaraan baik itu sepeda motor, bajaj, taksi, mobil pribadi dan bus selalu membunyikan klaksonnya disaat berkendara. Bukan klakson dengan suara normal, namun klakson dengan suara yang sangat keras dan nyaring layaknya klakson kendaraan-kendaraan besar seperti truk atau bus. Kebanyakan orang disini mengganti atau memodifikasi klakson kendaraannya agar memiliki suara yang menggelegar, termasuk sepeda motor.

Aku sempat iseng untuk menghitung jumlah bunyi klakson yang di bunyikan oleh supir bus yang aku tumpangi. Ternyata dalam satu menit sang supir membunyikan klakson sebanyak 42 kali, artinya benar bahwa hampir setiap satu detik supir ini membunyikan klaksonnya. Ini baru dari satu kendaraan saja, bayangkan ada berapa jumlah kendaraan disini, rasa-rasanya bunyi klakson di sini selalu sambung menyambung tak pernah terputus. Namun aku mendapat informasi bahwasanya pada pukul 22.00 sampai 06.00 waktu India penggunaan klakson adalah ilegal.

Aku sudah di seberang jalan dan berada di park street, jalan yang dipenuhi oleh deretan toko-toko, kafe, restoran, hotel-hotel berbintang, sekolah, universitas dan kapel-kapel Katholik, sebuah jalan yang cukup sibuk di Kolkata. Berdasarkan informasi yang aku dapat, lokasi Terresa House tidak jauh dari sini, namun aku tak tahu dimana tepatnya bangunan itu berada. Aku tidak memegang peta dan ponselku juga tidak bisa digunakan sebagai peta kala itu akibat simcard yang belum aktif (baca: Jejak Pertama di Kolkata (2).

Aku bertanya kepada orang yang ada di sekitarku mengenai lokasi dan jarak dari Terresa House dari tempat aku berada saat itu. Menanyakan jarak kepada orang lokal sama sekali tidak membantu dan hanya membuat bingung, ada yang menjawab 500 meter, tiga kilometer, lima, bahkan sepuluh kilometer. Nyatanya setelah aku cek di kemudian hari jaraknya hanyalah dua kilometer. Lebih baik menanyakan waktu tempuh dari pada menanyakan jarak. Dengan menanyakan waktu tempuh aku mendapatkan jawaban yang kurang lebih sama yakni antara 25-30 menit. 

[caption caption="Bangunan Tua di Parkstreet"]

[/caption]

Aku berjalan berjalan menyusuri Park Street sambil mencoba percaya dan mengikuti arahan-arahan dari orang-orang yang aku tanyai. Jujur saja di hari kedua ini aku masih takut untuk percaya sepenuhnya kepada orang-orang lokal, cerita tentang kasus hipnotis, scam dan pembiusan kepada orang-orang asing membuatku sedikit takut untuk mengikuti arahan mereka. Aku selalu berpikiran negatif kepada mereka yang dengan sukarela menghampiriku dan menanyai tentang kesulitanku. Namun kondisi kala itu memaksaku untuk percaya saja kepada mereka, karena aku tak punya pilihan lain selain bertanya dan mengikuti arahan mereka. Dan ternyata mereka memang bisa dipercaya, mereka ramah dan tak ragu untuk membantuku mencari arah.

Hari semakin terik dan bajuku sudah basah bersimbah keringat. Panas Kolkata saat itu sangatlah menggigit padahal aku mendapatkan kabar bahwa satu minggu sebelumnya baru saja terjadi banjir disini. Aku butuh air minum kala itu, keringat yang keluar berlebihan membuatku menjadi sangat haus dan sedikit lemas kelelahan. Sebenarnya mudah sekali untuk mendapatkan air minum disini, banyak sekali teapoter yang disediakan oleh pemerintah dengan air dingin yang sangat segar di sisi-sisi jalan Kolkata. Namun aku masih ragu untuk mencobanya, aku tidak mau mencari resiko. Kala itu aku lebih memilih untuk membeli air mineral kemasan di mini market ber-ac, sekalian mendinginkan tubuh yang sudah mulai bau gosong terbakar matahari.

Setelah beristirahat beberapa menit aku melanjutkan perjalananku untuk menuju Terresa House yang masih aku belum ketahui dimana letak lokasinya, sebenarnya lebih benar jika dikatakan mencari lokasi bukan menujunya. Aku berjalan menyusuri trotoar sambil memandang ke kiri dan ke kanan jalan, aku sangat menikmati perjalananku walau hari itu sangat panas. Banyak sekali yang menggoda sepanjang aku berjalan. Pemandangan disini sangat beragam mulai dari pedagang kaki lima, gedung-gedung tua dengan gaya british, kapel, sekolah, mereka semua lah yang menggodaku. Menggoda untuk berdiam, memandang, menikmati dan mengabadikannya dengan kamera. Tentu saja dengan demikian  perjalananku menuju Terresa House menjadi jauh lebih lama dari seharusnya. Sebenarnya aku cukup ganjil dengan suasana disini, sungguh diluar perkiraan bahwa kota ini bersih dan rapi, hal ini sungguh membuatku merasa tidak berada di India.

Lama aku berjalan tiba-tiba kakiku membelok ke suatu jalan yang berada disebelah kiriku, aku memang sangat senang berjalan secara random. Aku masuk ke sebuah jalan sempit yang tidak terlalu ramai. Jalanan yang hanya bisa dilewati oleh satu mobil saja.

Aku berjalan menelusurinya, hampir semua orang yang berada di sisi jalan memandangku. "Chinese? Chinese?" Kata seseorang dari mereka yang aku lewati. Lalu aku membalik badan dan berkata " No, i am Indonesian". "Oh, Indonesiaaaa!!!" Jawabnya dengan nada panjang dan sambil tersenyum. Sebenarnya dia berkata Chinese itu bukan kepadaku, melainkan untuk memberitahukan kepada teman dan orang di sekitarnya bahwa baru saja ada turis dari China lewat. Sepertinya memang benar bahwa orang Indonesia tidak populer di negeri ini. Mereka sangat senang dan antusias melihat aku berbicara kepada mereka, melihat aku berbincang dengan salah satu dari mereka orang-orang yàng sedang duduk di sekitar situ lantas bangkit dan berdiri mengitariku mencoba mendengarkan perbincangan yang sedang berlangsung. Ini terjadi setiap kali aku melakukan perbincangan dengan orang lokal dan ini juga terjadi dimana-mana disetiap sisi India. Mereka yang mengelilingiku tidak berbahaya apalagi berniat jahat, mereka hanya penasaran saja melihat seorang asing berbincang dengan temannya.

[caption caption="gang yang secara random saya masuki"]

[/caption]

Aku kembali melanjutkan perjalananku menelusuri jalan sempit itu, aku melihat beberapa orang-orang berjanggut panjang menggunakan jubah dan penutup kepala, cukup aneh melihat mereka disini, karena sebelumnya yang aku lihat hanyalah orang-orang dengan pakaian normal atau sari apabila itu wanita. Semakin aku masuk kedalam semakin banyak aku bertemu orang dengan penampilan yang sama. Aku juga menemukan sebuah toko dengan daging sapi tergantung di mukanya. Akhirnya aku tersadar, aku memasuki area muslim. Karena kecil kemungkinan masyarakat India yang beragama lain memotong apalagi mengkonsumsi daging sapi. Mayoritas masyarakat muslimlah yang mengkonsumsi daging sapi di India.

Orang disini sangat ramah, semua tersenyum dan melambaikan tangan ketika aku memandangnya. Namun hanya laki-laki saja yang aku lihat berkeliaran di jalan ini, jarang sekali aku bertemu dengan perempuan. Menurut informasi yang aku dapat hal ini terjadi karena dalam aturan agamanya tertulis bahwa  perempuan muslim baru boleh keluar rumah apabila ditemani dengan pasangannya.

Jalanan semakin sempit dan berliku, namun aku terus berjalan tanpa ragu sampai akhirnya aku menemukan sebuah mesjid. Walau aku bukan seorang muslim aku sangat akrab dengan mesjid, sejak kecil aku seringkali main di dalam mesjid bersama teman-temanku bahkan tak jarang juga memukul bedug di saat adzan tiba. Bagiku mesjid adalah tempat yang selalu terbuka untuk siapapun. Mesjid selalu nyaman untuk dikunjungi, suasananya selalu sepi, tenang dan sejuk. Aku pun duduk beristirahat di mulut mesjid, mengisi tenaga sambil menikmati dan mengamati kondisi sekitar. Sangat sepi, nikmat sekali untuk beristirahat.

Beberapa waktu kemuduan satu, dua, tiga kepala bermunculan dari jendela-jendela rumah susun yang ada di sekeliling masjid. Aku masih terduduk di mulut masjid. Sekarang semua jendela sudah dipenuhi oleh kepala yang menengok keluar, tepatnya memandang ke arah ku. Aku mencoba melambai kepada mereka, mereka pun tertawa dan membalas lambaianku. Tak lama ada seorang pemuda menghampiriku. "Which country?" Katanya. Spontan aku menjawab Indonesia. Pemuda tersebut lalu pergi sambil berteriak kepada orang-orang di jendela "Indonesia", lalu satu persatu orang-orang di jendela tersebut lenyap dari pandanganku. Sungguh unik, mereka sangat penasaran dengan kehadiranku, pengalaman yang belum pernah aku dapatka dimanapun.

[caption caption="Monumen Terresa di Park Street"]

[/caption]

Puas beristirahat aku kembali ke jalan utama kembali untuk mencari lokasi dari Terresa House yang menurut orang-orang  sudah tidak jauh dari tempat dimana aku berada kala itu. Memang benar sudah tidak jauh, hanya butuh 15 menit aku sudah sampai di Terresa House. Namun hampir setengah perjalanannya sangat penuh dengan kebisingan yang memekakan telinga. Klakson, ya lagi-lagi klakson. Namun kali ini bukan dari jalanan melainkan dari kios-kios yang ada dipinggir trotoar. Sekitar 500 meter berjejer bengkel servis klakson kendaraan. Mereka membunyikan klakson-klakson yang sedang mereka jual maupun direparasi. Sepertinya bisnis ini memang sangat menjanjikan di India.

Akhirnya aku sampai di Terresa House, aku datang tepat pukul 15.00 waktu India yang kebetulan merupakan jam operasional biara untuk dikunjungi. Tak banyak orang yang datang kala itu, namun banyak pengemis yang berkeliaran disekitar sini mengharap derma dari para pengunjung yang datang ke Terresa House.

Aku memasuki area teressa house, Aku disambut oleh dua orang suster yang bertugas menjaga pintu masuk Terresa House. Mereka sangat ramah dan tak banyak bicara, hanya bertanya saja dari mana aku berasal. Lalu akupun diarahkannya untuk masuk kedalam. Biara ini tidak terlalu besar, hanya terdiri dari kapel dengan makam Mother di dalamnya, perpustakaan, musium mini tentang kisah hidup mother dan juga kamar-kamar untuk para suster yang tinggal disana.

Pertama aku memasuki ruangan makam Mother Teresa, aku melihat sebuah kotak marmer putih yang sederhana dengan nisan dan taburan bunga diatasnya. Ada beberapa orang yang duduk disekitar makam ini dan ada juga yang memanjatkan doa dengan khusyuk sambil menitikan air mata di hadapan makam Mother Teresa. Aku sungguh terharu melihatnya.

[caption caption="Terresa house"]

[/caption]

[caption caption="makam terresa"]

[/caption]

Lalu aku memasuki museum yang tepat berada sebelah ruangan makam, sebuah ruangan sempit yang dipenuhi dengan foto, artikel-artikel tentang sejarah hidup mother dan beberapa benda kepunyaan mother. Aku memandanginya satu persatu, mencoba meresapi dan merasakan apa yang telah Mother Terresa lakukan sepanjang hidupnya. Sungguh luar biasa dimana kala itu beliau datang ke Kolkata murni dalam misi sosial bukan keagamaan, bukan untuk mengajak masyarakat setempat untuk manganut ajaran Katholik apalagi meng-Katholikan Kolkata.

Apabila banyak orang pada kala itu menjadi penganut agama Katholik, itu bukanlah hasil 'jalaan' Mother, mereka sendirilah yang memilihnya. Mereka melihat sosok Mother sebagai seorang Katholik yang berprilaku mulia, oleh sebab itulah mereka menjadikannya panutan dan mulai mengikuti apa yang dilakukan oleh mother tanpa ada ajakan maupun paksaan. Beliau menyatakan kasih dengan tindakan bukan hanya sekefar ucapan kosong.

Lalu aku keluar dari pintu musium dan menuju tangga yang tepat berada di seberangnya. Tangga itu adalah tangga untuk menuju kamar Mother Terresa. Aku menaikinya dan melihat sebuah ruangan mungil dengan ranjang dan lemari-lemari yang masih tersusun rapi di dalamnya. Ini adalah tempat dimana mother merenung, beristirahat dan tinggal sepanjang hidupnya di Kolkata, di tempat ini jugalah mother menghembuskan nafas terakhirnya.

Perjalananku menuju Mother Terresa House usai sudah. Sebuah perjalanan singkat yang penuh dengan kejutan bagiku. Kala itu matahari sudah mulai turun, angin pun mulai terasa berhembus sejuk. Aku terduduk di halaman kapel Mother Terresa House untuk beberapa waktu, mencoba meresapi suasana damai di tempat ini sebelum harus keluar untuk menghadapi kembali kericuhan India.

[caption caption="suster di Terresa house"]

[/caption]

Bersambung : (In Progress : Menuju Jembatan Kantilever Tersibuk di Dunia, Howrah Bridge)

Artikel ini adalah lanjutan dari: 

http://m.kompasiana.com/yoseapermana/menelusuri-mantan-ibu-kota-india-kolkata_55eefe80149773500ae6ee5a

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun