Mohon tunggu...
Yosea Permana
Yosea Permana Mohon Tunggu... Seniman - pegawai swasta

Gemar melukis, menggambar dan fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Menelusuri Mantan Ibu Kota India, Kolkata #IndiaTravelJourneyPart4

8 September 2015   22:29 Diperbarui: 29 Maret 2016   21:34 753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Hiruk pikuk Ballygunge, Kolkata"][/caption]

Indonesia memiliki waktu lebih awal 90 menit dari India berdasarkan GMT. Waktu itu pukul 4.30 waktu India tandanya sudah pukul 6 pagi di Indonesia, aku sudah terbangun segar dan siap menjalankan aktivitas. Ini bukan kali pertama aku berada di zona waktu yang berbeda dengan negaraku, namun nampaknya aku mengalami sedikit jetlag di sini. Hari masih gelap, tak ada satupun orang yang  bangun apalagi keluar rumah. Hanya koaran burung gagak saja yang terdengar nyaring di subuh yang sunyi itu.

Pukul 7 aku keluar dari rumah tempat aku menginap untuk mencari sarapan. Namun sama saja dengan hari kemarin, semua toko masih tutup dan baru akan buka pukul 10 dan beberapa buka pada pukul 9. Lantas aku kembali ke tempatku dan menyerahkan diri kembali kedalam dekapan kasur untuk menunggu pukul 10 tiba. Setelah beberapa hari di India akhirnya aku tahu ternyata masyarakat India baru sarapan pada pukul 9 pagi. 

Ini adalah matahari ke dua ku di mantan ibu kota India. Hari itu aku berencana mengunjungi Mother Teressa House. Sebuah biara dan kapel tempat dimana Mother Teressa tinggal sepanjang mengabdikan hidupnya di Kolkata. Sejujurnya aku bukan tipe orang yang harus mendapatkan semuanya(destinasi) ketika travelling. Aku termasuk lazy traveler. Bagiku traveling bukan melulu harus datang ke wilayah turistik. Aku lebih senang berjalan kaki ataupun menggunakan kendaraan umum untuk bisa menelusuri keramaian, pasar, gang-gang kecil dan taman-taman kota. Dengan demikian aku bisa mengamati dan ikut menikmati rasa kehidupan orang lokal serta berinteraksi dengan mereka. Berkunjung ke area turistik memang menarik, namun hanya akan mempertemukan aku dengan sesama traveler lainnya atau paling-paling orang lokal yang otaknya sudah terkontaminasi dengan uang dari para turis. Namun kala itu hanya Mother Terresa lah yang aku ketahui dari Kolkata. Ya, kali ini aku akan datang ke tempat turistik. Semua orang tahu tempat ini, dan setiap turis yang datang ke Kolkata aku yakin pasti mereka akan menyisihlan waktunya untuk mengunjungi lokasi ini. 

[caption caption="Kachori dan Sabji"]

[/caption]

Setelah mengenyam kembali menu yang sama dengan makan malam ku di hari pertama, kachori dan sabji, akupun berangkat. Dari Ballygunge tempat dimana aku tinggal, aku berjalan kaki dan menggunakan bus umum untuk bisa ke Terresa House, ini dikarenakan tidak adanya bus yang langsung menuju kesana dari tempatku, artinya aku harus berpindah bus atau jalan kaki untuk bisa sampai ke tujuan. Praktisnya aku bisa menggunakan jasa taksi atau auto rickshaw (bajaj) untuk bisa langsung sampai disana namun aku menolak menggunakan kedua alternatif itu walau sebenarnya dengan demikian aku bisa menghemat waktu banyak dan tenaga. Alasan utama aku menolaknya adalah karena harga yang relatif jauh lebih mahal, terlebih lagi aku malas harus berdebat meributkan jumlah ongkos dengan para supir yang selalu berusaha memeras turis, dengan menggunakan bajaj atau taksi juga akan mengurangi kesempatanku untuk bisa berinteraksi dan mengamati kegiatan-kegiatan warga lokal dari dekat.

Dari Ballygunge aku berjalan kaki menelusuri trotoar yang tiada habisnya di makan kaki lima sampai ke Gariahat Rd. Sepanjang perjalanan aku melihat banyak sekali lapak mulai dari makanan, peralatan sembahyang, tembakau, pakaian, peralatan rumah tangga dan banyak lainnya, aku yakin semua kebutuhan bisa dipenuhi dengan berbelanja di sepanjang jalan ini tanpa perlu ke pasar atau pusat perbelanjaan moderen. Aku juga melihat penjual-penjual jasa yang menurutku sudah tidak pada zamannya lagi, seperti jasa timbang badan, ukur tinggi badan, tensi darah dan yang menurutku paling klasik adalah jasa ketik dengan mesin tik. Aku berbincang dan bertanya kepada bapak tukang ketik ini apakah masih ada yang masih menggunakan jasanya, "tentu saja ada, aku tidak hanya mengetik, namun menerjemahkan juga ke bahasa Inggris" ucap si bapak guna menjawab pertanyaanku. Aku tak pernah ragu dengan kemampuan berbahasa Inggris orang-orang India, pasalnya mereka sangat akrab dengan kolonial Britania sejak abad 17 sampai akhirnya berhasil meraih kemerdekaan pada tahun 1947. Sebagian besar dari mereka bisa berbicara dan mendengar  bahasa Inggris dengan sangat baik dan mereka melakukannya dengan penuh percaya diri. "Berapa biayanya pak?" aku kembali bertanya. Ternyata hanya 10 rupe atau sekitar Rp. 2100 saja biaya untuk selembar tulisan yang telah rapi diketik dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Bagiku ini sangat murah, dilihat dari harus telitinya sang pengetik dalam bekerja karena tidak ada tombol undo layaknya di komputer dan juga perlu sedikit tenaga untuk menekan tuts-tuts keyboard mesin tik yang agak alot. Jasa lainnya yang tersebar sepanjang trotoar ini adalah jasa sol sepatu, semir sepatu dan juga pangkas rambut di bawah pohon. Mungkin yang lainnya ini masih mudah untuk di temukan di beberapa daerah di Indonesia.

[caption caption="Jasa Cukur di Bawah Pohon"]

[/caption]

Perjalanan yang penuh dengan suasana baru dan unik ini seharusnya hanya memakan waktu sekitar setengah jam bila saja tak berhenti untuk berfoto dan berinteraksi dengan orang-orang lokal. Namun nyatanya aku keasyikan sampai-sampai aku berjalan dengan durasi 2 jam untuk jarak yang hanya 1,4 km ini.

Aku sudah berdiri di dalam bus, bukan bus ac melainkan bus ekonomi. Dari luar bus ini terlihat sangat tua namun penuh warna dan pernak-pernik dewa-dewi Hindu. Walau demikian bagian dalam bus ini bisa dibilang cukup bersih dan terawat apabila di bandingkan denga kopaja dan metro mini yang ada di Jakarta. Didalam bus setiap penumpang tak bisa duduk dengan sembarangan. Setiap kursi memiliki spesifikasi khusus unyuk penjajalnya. Secara garis besar posisi duduk penumpang di dalam bus disusun berdasarkan jenis kelamin, umur dan kasta. Wanita biasanya di tempatkan di sisi kiri, orang tua atau senior citizen selalu di tempatkan di depan bersama golongan masyarakat kasta atas. Sedangkan aku bisa duduk dimana saja, pasalnya aku adalah "mehman" atau tamu, dan dalam budaya hindu tamu adalah segalanya. Walau demikian aku memilih untuk berdiri, berbagi ruang bersama masyarakat India yang pastinya bukan dari golongan atas.

[caption caption="senior citizen dan golongan atas duduk di barisan depan"]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun