Mohon tunggu...
Layosibana Akhirun
Layosibana Akhirun Mohon Tunggu... -

Sedang menyerap ilmu di padepokan Alam Semesta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kalah itu biasa saja

7 April 2014   23:09 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:57 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Membaca catatan ilham akbar mustafa tentang kekalahan  ( http://www.facebook.com/notes/ilham-akbar-mustafa/balada-orang-orang-kalah/10151932339593152 ), saya awalnya berpikir sebuah tindakan yg tergesa-gesa untuk membuat sebuah memoar ala indra jaya piliang yang notabene panutanya. Tapi, saya teringat ucapan hannah arendt bahwa “derita menjadi tertanggungkan apabila telah menjadi cerita”.

Tak ada kekalahan terbesar dalam peradaban manusia selain dikarenakan politik. Boleh menyebut selainnya adalah paling kekalahan-kekalahan eksistensial yang pribadi. Tapi, kekalahan dalam politik adalah kekalahan paling maskulin yang pernah tercipta.

Yang telah pernah kalah tapi kelak menjadikan balada sisiphus sebagai patron kekalahan adalah sesuatu yang haram. Sebab, kita bukanlah sisipihus dalam metafor albert camus tentang manusia setengah dewa yang dihukum dengan mendorong batu kepuncak gunung tanpa henti dan terus menerus karena membangkang serta melawan zeus. karena kemenangan laiknya pesta, pun akan berakhir jua.

Tak ada yang lebih akrab dari tokugawa ieyasu dalam hal kekalahan. Sejak lahir telah kalah bahkan menjadi sandera yang digilir antara klan imagawa dan klan oda. Ieyasu kecil tumbuh besar dari memupuk amarah menjadi belati kuasa. Kelak belati ini menjelma menjadi tonggak hampir 250 tahun mengangkangi jepang. Seperti pendahulunya, ieyasu melihat pembangunan kembali dalam merebut kemenangan banyak belajar pada minamoto no yoritomo yang menghancurkan klan taira setelah mempersiapkanya selama bertahun-tahun.

Banyak cara pada orang-orang kalah untuk melanjutkan hidup. Bisa seperti kaum hippies yang mengasingkan diri lalu ekstase dengan alam dan dirinya sendiri dengan mariyuana setelah kalah melawan modernisme. Bisa juga  ala milisi revolusi kemerdekaan serangan umum 1 maret dengan bergerilya tapi sebelumnya melakukan “bumi hangus” kotanya sendiri atau belajar pada “klandestin kota” ala marxis soviet  sebelum revolusi bolsyhevik.

Akhirnya, bukankah tentang kekalahan adalah soal harga diri? Begitu pula sebaliknya,kemenangan. Ada kemenangan dengan kepala tertunduk (karena dengan cara picik dan munafik) dan ada kekalahan dengan kepala tegak (karena telah menahan diri untuk tidak berbuat serupa dan legowo). Kalaupun ada amarah yang tersisa  hendak dibalaskan dari perhelatan ini mari kita selesaikan dengan omerta ala mafioso sisilia,”sajikan hidanganya saat telah menjadi dingin”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun