Jessica Kumala Wongso (http://www.idntimes.com/)
Jessica sudah ditetapkan sebagai tersangka pembunuh Mirna. Banyak pihak gembira. Polisi seolah menang karena perjuangannya selama kurang lebih tiga minggu menguak siapa pembunuh Mirna merasa berhasil. Sebelum disidang dan sebelum putusan hakim, vonis dari banyak pihak yang berpikir linear sudah dijatuhkan kepada Jessica. Semua bilang Jessica pembunuh. Berbagai istilah dipakai untuk menyudutkan Jessica sekaligus memuaskan diri mereka yang menjatuhkan vonis. Ada yang bilang pembunuh berdasarh dingin, tidak berperikemanusiaan, memiliki kelainan seksual, lesbian, memiliki kelainan jiwa, dan macam-macam.
Orang kerap gagal sadar bahwa semua yang namanya alat bukti di luar tertangkap tangan, entah keterangan saksi, keterangan ahli atas kata-kata, gerak-gerik tubuh, pandangan mata, atau tindakan Jessica yang dinilai janggal seperti datang lebih awal, memesan minuman dan membayar sebelum Mirna dan Hani datang, membuang celana yang dipakai saat kejadian, dan seterusnya, selalu bersifat netral dalam dirinya sendiri. Ia tidak bermakna apa-apa. Yang memberinya makna adalah orang yang berkepentingan: polisi, jaksa, dan hakim.
Pemaknaan ini pasti terkait, bahkan selalu bersifat subyektif. Sangat diwarnai oleh pengalaman dan/atau apa yang ada di dalam pikiran, budaya, pengetahuan, dan kedalaman analisis si pemberi makna. Orang senyum tulus karena bertemu teman lama saja, bisa dimaknai menghina, sinis, mengolok-olok oleh mereka yang suasana hatinya lagi mendung atau yang kebiasaannya senyum manakala ia sinis atau mengolok-olok orang lain.
***
Dari kejaidan ini, kita diingatkan bahwa hidup manusia di depan penegak hukum tidak setinggi yang kita bayangkan. Kita bisa bicara HAM, hak asasi, hak yang melekat pada diri manusia secara mutlak. Sebagai hak asasi, ia tidak dapat dicabut atau dihilangkan atau dialihkan oleh siapa pun dan kepada siapa pun. Tiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari negara manakala ada ancaman atas kemerdekaan untuk menikmati hak asasinya tanpa mengganggu hak asasi orang lain. Namun di depan penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, sampai hakim keadaannya bisa lain sama sekali.
Manakala seseorang sudah ditetapkan menjadi tersangka, dan seluruh bukti yang ditemukan polisi dimaknai sebagai bukti kejahatannya, maka ia akan dihukum menurut rumus-rumus Undang-undang. Sekalipun dalam kenyataannya yang bersangkutan bukanlah pelaku atau bukan orang yang menghendaki terjadinya tindakan kejahatan.
Pada kasus pembunuhan Munir hal ini sangat jelas. Yang dituduh, dan akhirnya menjadi tersangka, lalu dihukum adalah Pollycarpus Mudihari Priyanto, yang waktu itu masih berstatus pilot pesawat Garuda. Ia divonis 20 tahun, tetapi terakhir menjadi 14 tahun, dan pada tanggal 29 November 2014 telah dibebaskan secara bersyarat setelah menjalani hukuman selama 8 tahun. Namun begitu bebas, Pollycarpus tetap menegaskan bahwa dia bukan pelaku pembunuh Munir.
Mantan Komandan Kopassus TNI AD, Jenderal Muchdi Purwoprandjono yang sempat ditangkap dan diadili karena dinilai sebagai otak di belakang kematian Munir telah dibebaskan dari segala tuduhan oleh pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sekalipun berbagai bukti menunjukkan bahwa beliaulah pelaku. Sampai sekarang pun teka-teki kematian Munir tetap merupakan teka-teki.
Akankah Jessica mengalami nasib serupa dengan Pollycarpus? Ataukah Jessica benar pembunuh sekaligus otak kematian Mirna? Apa pun jawabannya, yang jelas, sebelum putusan pengadilan, banyak pihak yang telah menjatuhkan vonis yang mendahului putusan hakim. Padahal putusan hakim kelak selalu mendasarkan diri pada bukti-bukti yang terkuak di pengadilan. Bahwa bukti itu benar atau tidak, bukan urusan hakim karena menurut rumusan Undang-undang, hakim hanya memutus perkara berdasarkan bukti.