Teka-teki putusan hakim terhadap Jessica terjawab sudah. Tuntuan JPU 20 tahun pernjara atas dakwaan pelangaran Pasal 340 KUHP. Dengan merujuk pasal tersebut, JPU menyatakan bahwa Jessica telah melakukan pembunuhan berencana terhadap sahabatnya Mirna secara sadis. Tak satu pun hal yang meringankan sebagaimana lazimnya. Sikap sopan dalam persidangan atau usianya yang masih muda dan tidak pernah dihukum, tidak masuk dalam pertimbangan JPU.
Mengapa begitu?
JPU sangat yakin bahwa Jessica adalah pembunuh Mirna. Alat bukti yang mereka kantongi dan terungkap di persidangan dianggap sudah sangat meyakinkan. Anehnya, apa yang didakwakan dan hukuman tidak selaras. Dengan delik pembunuhan berencana dan dilakukan secara sadis, tuntutan JPU seharusnya hukuman mati atau paling tidak hukuman seumur hidup.
Pertanyaannya, mengapa JPU hanya menuntut Jessica 20 tahun penjara?
Jawabnya, JPU ragu. Tapi, keraguan JPU ternyata tidak memengaruhi sikap hakim, yang sejak semula memang sudah bersikap apriori, dan bahkan sudah memvonis Jessica bersalah sebelum persidangan dimulai. Hal ini tampak di sepanjang persidangan. Sikap dan cara bertanya hakim kerap tendensius. Tidak mengajukan pertanyaan yang sifatnya netral. Malahan menggiring jawaban saksi, ahli, dan terdakwa. Sampai-sampai ada yang memerlihatkan sikap tidak senang atas keterangan ahli yang tidak sesuai apa yang diharapkan hakim.
Putusan hakim jelas tidak mengagetkan. Hakim mengabulkan tuntuan JPU karena memang sesuai dengan apa yang diinginkan hakim. Dalam putusannya, Jessica disebut secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana berencana membunuh Mirna.
Ini menggelikan. Mengapa? Karena selain tidak ada alat bukti yang mematikan penyebab kematian Mirna, tidak adanya yang memastikan Jessica menaburkan apa pun di gelas kopi Mirna, termasuk CCTV, hakim hanya menggunakan keterangan ahli di pihak JPU. Keterangan ahli di pihak Jessica dianulir semua atas permintaan JPU.
Lhaaaaaa, di mana logikanya tuh pak Hakim? Bagaimana pengadilan ini disebut adil jika yang dipertimbangkan hanya alat bukti yang mendukung keberpihakan hakim?
Mengecam sikap penasihat hukum yang tidak menguak semua detail keperibadian Jessica dan hanya membela hak-hak terdakwa, sama sekali tidak masuk akal. Jangankan Jessica, Pasal 56 KUHAP mengatur bahwa terdakwa berhak didampingi penasihat hukum atau advokat. Bahkan negara berkewajiban mengadakan advokat bagi yang tidak mampu bila tindak pidana yang dilakukannya diancam pidana mati atau ancaman pidana 15 tahun atau lebih. Tugas advokat memang begitu. Membela hak-hak terdakwa.
Hakim semestinya tidak bersikap begitu. Namanya saja hakim. Tuganya mengadili. Dengan nama dan tugas itu, semestinya hakim bersikap netral. Adil. Wujudnya antara lain tampak pada sikap bertanya dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Apa yang ditanyakan mestinya harus bermuara pada pengungkapan fakta. Tidak boleh tendensius, bukannya menjurus memengaruhi keterangan saksi, ahli, dan terdakwa.
Pertanyaannya, ada apa dengan hakim?