Kembalinya Ahok bekerja setelah cuti kampanye ternyata banyak yang gemetaran, ketakutan. Bukannya gembira karena bisa melaksanakan tugasnya dengan disiplin tinggi untuk melayani rakyat, malahan mereka sibuk bersekutu mencegah agar Ahok jangan bekerja.
Alasannya memang masuk akal, menegakkan hukum. Pasalnya, Ahok tengah menjadi terdakwa atas kasus dugaan penistaan agama hasil kreasi mereka sendiri lewat kecerdasan Buni Yani. Mereka tidak mau ambil pusing bahwa pasal 83 ayat (1) UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tidak bisa menjerat Ahok. Perdebatan antara Mahfud MD dan Refly Harun memberi sinyal bahwa pasal itu tidak bisa dipaksakan untuk memenuhi hasrat sesaat..
Anehnya, mereka tetap ngotot. Mereka seolah melihat dunia hanya hitam putih. Frase “pokoknya Ahok harus diberhentikan sementara” sudah dijadikan dalil. Mereka tidak sadar bahwa sikap seperti sekaligus menjelaskan bahwa mereka tidak sedang menegakkan hukum. Mereka hanya menegakkan nafsu politik mereka sendiri atas Ahok.
Karena kebelet, empat fraksi di DPR RI, Empat fraksi di DPR yakni PAN, Demokrat, Gerindra, dan PKS begitu antusias mengakomodasi keinginan semua orang yang menghendaki pemberhentian Ahok. Empat fraksi ini telah menyerahkan draf usulan hak angket kepada Pimpinan DPR. Juga telah diterima oleh pimpinan yang diwakili Fahri Hamzah, Fadli Zon, dan Agus Hermanto di Ruang Kerja Fadli Zon. Ditandatangani oleh 22 anggota Gerindra, 42 anggota Demokrat, 10 anggota PAN, dan 6 Anggota Fraksi PKS. (Kompas.com 13/2/17).
Harapan mereka usul tersebut akan diterima sehingga menjadi hak angket DPR RI. Lucunya, Fahri Hamzah sendiri pernah menyarankan agar tidak menggunakan hak angket, tapi hak interepelasi. Kali ini Fahri tampak bijak. Semestinya memang begitu. Minta penjelasan pemerintah dulu lewat hak interpelasi. Jangan langsung lompat ke penyelidikan, hak angket. Namun, saran tersebut tak digubris.
Pertanyaannya, apakah hak angket ini berhasil menjegal Ahok atau Presiden Jokowi?
Menghasilkan Polusi
Berdasarkan pengalaman di kasus bank Century, yang telah memboros-boroskan waktu, tenaga dan dana yang tak sedikit, hampir bisa dipastikan bahwa hak angket ini akan menjadi tong kosong. Bunyinya memang nyaring, tapi hanya menghasilkan kegaduhan, polusi suara, polusi pendapat, polusi kerja DPR dan pemerintah. Kalau sudah tidak tahan, satu persatu mungkin siuman, sadar diri, kemudian menarik diri diam-diam seperti kura-kura.
Mengapa begitu? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, dari segi hukum memang tidak memenuhi syarat. Tiga hak DPR RI yang dicatat dalam Pasal 79 ayat (1), (2), (3), dan ayat (4) UU No 17 Tahun 2014 tentang MD3 dan Pasal 169-183 Peraturan DPR RI No 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib DPR RI bukanlah hal yang gampang diumbar. Syarat utamanya DPR harus membuktikan bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran hukum dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Jika tidak, maka pemakaian hak itu jadi omong kosong.
Kedua, proses penggalangan suara pendukung untuk memakai salah satu hak itu juga tidak gampang. Bukan saja soal setuju-tidaknya atas substansi yang dipersoalkan dan argumentasi hukumnya yang harus diuraikan rinci dan lengkap pada dokumen sebagai lampiran usul ke DPR. Untuk memenuhi syarat kehadiran saja pasti tidak mudah. Mungkin mulut para pengusul harus berbusa-busa untuk meyakinkan sesama anggota DPR agar mau hadir.
Jumlah pengusul dan syarat lebih dari satu fraksi memang terpenuhi (Psl 169 Tatib DPR). Namun, pada jumlah yang hadir pada rapat pleno serta jumlah yang setuju ketika keputusan diambil jelas tidak segampang omong di media. Jangankan anggota fraksi lain, di internal fraksi pengusul sendiri banyak yang tak setuju, bukan?